Setiap pagi aku berangkat kerja naik motor melalui jalan-jalan sempit di perumahan rakyat - perumahan yang jalanannya hanya dapat dilewati oleh 2 motor berdampingan yang salah satunya harus berhenti. Tentunya jalanan di situ tidak mulus seperti di jalan Thamrin tapi diwarnai dengan banyak lembah dan bukit. Dan setiap pagi aku selalu bertemu dengan seorang lelaki muda yang menggunakan kursi roda. Lelaki itu sungguh membuatku makin kuat dalam iman.
Lelaki muda itu bertubuh ramping, selalu berpakaian rapi - kemeja dan celana bahan. Di belakang kursi rodanya ada sebuah backpack tergantung. Setiap kali dia mendengar ada motor hendak lewat, dia selalu minggir dan memberikan jalan. Aku sering memperhatikannya mendorong kursi rodanya melewati polisi tidur yang sulit, dan batu-batu yang membuat roda tergelincir. Lelaki itu tidak pernah menyerah.
Satu kali, ketika aku hendak melewatinya, aku menyempatkan diri melihat wajahnya. Wajahnya tenang, tidak memperlihatkan kemarahan akan kondisinya yang terbatas itu. Ketika aku mengucapkan terima kasih, dia menjawab dengan tenang, "Ya". Dan begitu aku melewatinya, dia kembali menggulirkan kursi roda itu seakan-akan tidak ada sesuatu yang berbeda antara dia dan aku, kecuali bahwa kendaraannya punya sandaran sementara punyaku tidak.
Yang mengherankan bagiku pertama kali adalah aku tak pernah merasa kasihan padanya bahkan ketika aku hanya melihat punggungnya saja. Yang kurasakan hanya satu: Hormat. Aku hormat padanya, aku menghargai dia sebagai manusia yang siap menggunakan semua yang diberikan kepadanya termasuk kursi rodanya.
Padahal begitu sering aku merasa prihatin sama orang yang duduk di kursi roda, betapa sering aku ingin mengulurkan tangan untuk mendorongkan atau memberinya sesuatu untuk dimakan atau berupa uang. Tapi lelaki ini, tidak satupun dari dia yang menyatakan ia ingin dikasihani. Tidak pula tampak rasa kesombongan atau rasa gengsi darinya. Yang ada hanyalah penerimaan bahwa dia demikian adanya.
Kenapa kukatakan bahwa aku menjadi lebih beriman karena melihat lelaki itu? Karena setiap kali melihatnya, terngiang di hatiku:
"Tuhan adalah Gembalaku, takkan kekurangan aku." - Mzm 23:1
Tidakkah di dalam diri lelaki itu, ayat ini menjadi sempurna? Siapakah manusia sehingga dia dapat mengatakan bahwa lelaki itu kekurangan kaki? Dia pun tidak mengatakan bahwa itu adalah kekurangan melainkan sesuatu yang dapat dijadikannya indah untuk kemuliaan Tuhan.
Terpujilah Dia selama-lamanya, Dia yang mampu menyentuh hati setiap jemaatNya melalui berbagai hal.
Sumber: http://nasihatalkitab.blogspot.com/
Monday, January 30, 2012
Harga Diri yang Tak Dapat Dibeli
Harga Diri yang Tak Dapat Dibeli
Reviewed by JMG
on
January 30, 2012
Rating: 5
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment