Latest News

Thursday, March 30, 2017

Pilihan yang Menentukan

Apa yang membedakan anak Allah dan bukan anak Allah? Harry Potter, seorang tokoh khalayan J.K. Rowling menghadapi hal ini ketika ia bingung mengapa ia dapat mendengar bahasa ular, talenta yang hanya dimiliki oleh pengikut dari si jahat Voldemort. Ia menghadapi keraguan tentang dirinya sendiri, apakah ia jahat atau baik. Ini adalah gambaran kehidupan kita sehari-hari. Suatu nasihat dari kepala sekolah Harry, yaitu Dumbledore yang bijaksana, menenangkan hati Harry. Katanya, �Pilihan kitalah, Harry, yang menunjukkan siapa kita sebenarnya, jauh lebih jelas daripada kemampuan kita.�


Kita sering dihadapkan pada suatu keputusan yang membuat kita meragukan diri kita sebagai anak Allah atau bukan. Apakah orang-orang Israel di jaman Yesus dan bahkan di jaman penulis kitab Kebijaksanaan adalah orang-orang pilihan Allah? Ya, mereka adalah orang Israel, bangsa terpilih, bangsa yang dipimpin Allah sendiri. Mereka adalah satu-satunya bangsa yang memiliki Kitab Taurat, hukum yang adil, sementara bangsa-bangsa lain pada waktu itu adalah bangsa-bangsa tidak beradab. Mereka memiliki hari untuk beristirahat, yaitu hari Sabat, sementara bangsa lain berada di dalam perbudakan. Mereka memiliki tahun Yobel, tahun pembebasan, sementara bangsa lain hidup dalam ikatan utang 7 turunan.

Namun apa yang mereka pilih? Di dalam Kitab Kebijaksanaan mereka sudah merencanakan pembunuhan, hukuman mati yang keji sebagai percobaan. Dan di dalam Injil, mereka menjalankan rencana keji itu. Padahal mereka memberitakan Allah yang maha pengampun dan setia pada janjiNya.


Demikianlah kita telah dikaruniai berkat pembaptisan yang memisahkan kita dari dosa. Itu adalah hak milik kita. Tapi bukan hak milik itu yang menjadi kepastian keselamatan kita, melainkan pilihan-pilihan yang kita buat selama hidup. Ketika kita menghakimi orang lain dan mengharapkan kematiannya, maka kita bukan anak Allah. Ketika kita menyingkirkan orang lain dari jalur keselamatan, maka kita bukan anak Allah. Tapi kita anak Allah ketika kita mendoakan musuh-musuh kita, orang �orang yang tidak sejalan dengan pikiran kita, orang-orang yang bertindak keji pada kita. Mari kita gunakan masa Prapaskah ini untuk merenungkan apa yang dapat kita pilih untuk makin menjadi anak Allah. 
----------------------------
Kamis Pekan Prapaskah IV
Bacaan 1: Keb 2:1a, 12-22
Injil: Yoh 7:1-2, 10, 25-30

Tuesday, March 28, 2017

Kita Juga Anak Bapa

Anak adalah cerminan bapak dan ibunya. Bapak membentak-bentak, anak membentak-bentak; ibu suka mencubit, anak mencubit saudaranya; bapak buang sampah sembarangan, anak tidak akan melihat tempat sampah; ibu suka merokok, anak ikut merokok. Kebiasaan yang buruk maupun yang baik akan selalu ditiru anak, karenanya orangtua hendaknya mencontohkan yang baik: rajin, tepat waktu, lemah lembut, dan sabar.

Demikian juga Bapa yang di surga. Ia telah mengutus anakNya, dan anakNya itu takkan melakukan hal yang berbeda dari yang dilakukan BapaNya. Yesus selalu bekerja karena BapaNya pun selalu bekerja. Yesus adil karena BapaNya pun menghakimi dengan adil. Yesus mampu membangkitkan karena BapaNya pun mampu membangkitkan. Dan sama seperti bapak dan ibu yang baik yang mengajari anaknya untuk sabar dan sopan santun agar anaknya kelak disegani orang, demikian pula Bapa di surga ingin agar anakNya dihormati.


Apakah hanya Yesus yang merupakan anak Bapa? Bukan. Kita pun melalui pembaptisan roh adalah anak Allah. Tapi apakah kita sungguh anak Allah? Anak selalu meneladan Bapanya. Bapa kita adalah Bapa yang pengasih dan penyayang, panjang sabar dan besar kasih setiaNya. Bapa kita selalu  bekerja dan penuh dengan keadilan. Maka hendaklah kita sebagai anakNya pun meneladan hal itu agar kita sungguh dilihat sebagai anakNya dan tidak memalukan Dia yang mengangkat kita sebagai anakNya, sama seperti kitapun tak ingin mempermalukan orangtua kita dengan perbuatan kita.
----------------------------
Rabu, 29 Maret 2017
Hari Biasa Pekan IV Prapaskah
Bacaan 1: Yes 49:8-15
MT: Mzm 145:8-9,13-14,17-18
Injil: Yoh 5:17-30

Thursday, March 23, 2017

Cinta Tanpa Syarat

Di dalam dunia, cinta biasanya bersyarat. Syarat- syarat cinta misalnya: 
1. Material. Karena dia punya materi maka dia jadi sahabat, teman dan pasangan idaman. Alasannya karena adamateri yang bisa kita manfaatkan. Begitu materi hilang, habis pulalah cinta kita padanya. 
2. Perbuatan baik. Karena dia pernah berbuat baik maka kita mau mencintainya. Cinta tidak diarahkan kepada kepribadian  menyeluruh melainkan pada perbuatan baiknya saja. Belum tentu kita dapat mencintai kekurangan dan kelebihannya yang lain.
3. Sifat atau kepribadiannya. Cinta ini diarahkan hanya kepada satu hal tertentu saja, misalnya wajahnya yang cantik atau tampan atau sama-sama suka nonton film.


Cinta yang memiliki syarat adalah cinta yang egoistis. Di dalam bacaan Injil hari ini kita belajar cinta yang utuh, tidak bersyarat, baik kepada Allah maupun kepada orang lain. Yesus mengajarkan agar kita mencintai Allah dengan segenap hati,  segenap akal budi, segenap jiwa dan segenap kekuatan kita. Artinya kita tidak mencintai Allah ketika kita kuat, atau sehat atau pintar atau kaya, melainkan juga ketika kita sakit, lemah dan miskin. 

Kita juga diajarkan untuk mencintai sesama kita seperti kita mencintai diri sendiri. Bagaimana kita mencintai diri sendiri? Kita mencintai diri kita ketika kita sehat maupun sakit, ketika kaya maupun miskin. Kita mencintai diri kita secara utuh. Bila kita tidak mencintai sesama secara utuh maka sia-sialah kurban bakaran dan persembahan, dan sia-sia pula niat kita untuk mencintai Allah.

Dan yang terutama, Yesus mengajarkan bahwa mencintai berawal dari pendengaran. Itulah sebabnya Ia mengawali jawabanNya dengan: "Dengarlah, hai orang Israel...". Memang cinta tumbuh dari pendengaran. Seperti pada bacaan pertama ketika Allah yang mendengarkan permohonan orang Israel dan menjawab mereka, menyurutkan murkaNya dan kembali mengasihi orang Israel dengan lembut. Demikianlah kita perlu menghadirkan cinta tanpa syarat seperti yang telah diberikan Allah kepada sesama kita. Sama seperti jg dalam  bacaan injil, Yesus menekankan hal mendengarkan, krn mendengar berarti membuka semua unsur-unsur yang bisa dipakai untuk memahami kasih itu sendiri , mendengar berarti melakukan jg apa yang menjadi kehendakNya. Mari kita belajar mendengar seperti ahli taurat supaya kerajaan Allah slalu dekat pada kita, menghadirkan cinta Tuhan dalam hidup kita, melalui kasih pada sesama. 
---------------------------------------
Jumat 24 Maret 2017
Jumat Pekan prapaskah III
Bacaan 1:  Hos 14:2-10
Injil: Mrk 12:28b-34

Tuesday, March 21, 2017

Yuk Jadi Makin Canggih dalam Hukum Allah

Pernahkah mengajari anak belum sekolah untuk berhitung? Bagaimana rasanya? Susah ya. Rumus apa yang bisa menghasilkan angka 2? Tentu anak-anak kecil semuanya sama: rumus 1 + 1. Semua harus dihafal, tidak boleh ada modifikasi tentunya. Sementara untuk kita yang sudah dewasa, angka 2 itu bisa terjadi melalui 3 � 1 atau 1 x 2 atau 4:2, bahkan yang lebih ahli bisa menciptakan berbagai rumus dengan tangen dan derivatif untuk menghasilkan 2. Makin rumit, makin kompleks, dan makin dapat mencapai tujuan-tujuan tertentu yang diinginkan.

Demikian juga Allah ketika mengajari manusia tentang hukum. Pada awalnya hidup manusia sangatlah kacau, tanpa hukum, tanpa yang kita sebut sekarang dengan �kemanusiaan�. Melihat ini maka Allah melalui bangsa Israel memperkenalkan DiriNya sebagai Allah yang esa, serta hukumnya yang jauh lebih baik daripada bangsa-bangsa di sekitarnya. Tak heran bangsa Israel mendengar berbagai pujian dari bangsa lain tentang hukumnya yang unggul. Unggul karena membuat hidup manusia menjadi lebih baik, lebih adil dan lebih berkemanusiaan.  


Dengan berlalunya waktu, hukum-hukum Allah itu mulai diadopsi oleh bangsa lain yang melihat bahwa hukum tersebut baik adanya. Namun situasi mulai berubah. Hukum Taurat yang keras itu tidak cocok lagi dengan manusia karena mereka menjadi mengeraskan hati untuk mentaati hukum. Maka Yesus pun datang untuk menjadi hukum yang baru dan sempurna, yaitu hukum Kasih. Hukum Kasih ini sifatnya universal, merangkul semua orang, dan mengingatkan manusia akan Allah yang penuh kasih. Tapi Hukum Kasih ini tidak meninggalkan sedikitpun dari Hukum Taurat yang diperkenalkan di awal. Sama dengan ahli matematika tidak akan meninggalkan 1+1=2, Yesus pun berkata bahwa tak seiotapun dari hukum Taurat itu akan hilang. Bedanya adalah kita yang makin dekat dengan Allah, perlu makin memahami tujuan Allah memperkenalkan hukum itu, yaitu membuat manusia menjadi lebih baik dan sempurna setiap saat.

---------------------------
Rabu, 22 Maret 2017
Hari Biasa Pekan III Prapaskah
Bacaan 1: Ul:4:1,5-9
MT: Mzm 147:12-13,15-16,19-20
Injil: Mat 5:17-19 

Wednesday, March 15, 2017

Menjadi Manajer Kebebasan yang Baik


Sejak awal manusia diciptakan Allah, manusia diberi kemerdekaan. Merdeka untuk memilih dan melakukan kehendak bebas. Namun kemerdekaan itu bukan tanpa dasar, melainkan sebagai mahluk ciptaan yang tertinggi yang diharapkan taat dan setia, patuh dan percaya kepada Allah secara total. Kepercayaan itu harus bersifat total bahwa Allah melakukan segala yang terbaik untuk manusia.

Laksana pemilik kebun anggur yang mengupayakan yang terbaik demi hasil optimal kebun anggurnya. Allah memberi kepercayaan pada kita untuk mengelola kebebasan yang diberikan kepada kita, merawat dan menghasilkan buah limpah bagi Allah. Bukan untuk kesenangan dan keuntungan pribadi kita. Karenanya dipenuhilah kebun itu dengan kemudahan dan perlindungan bagi kita pekerja di ladangnya.

Yesus sendiri dalam perumpamaan ini hendak menggambarkan bahwa dirinya sebagai pewaris kebun anggur  patut dihormati dan ditaati. Para penggarap kebun anggur adalah mereka yang mendapatkan kesempatan terlibat dalam karya Allah, namun karena keserakahan, maka mereka hanya memikirkan kepentingan sendiri, mencari keuntungan dari harta milik Allah, yaitu tanah, pohon anggur dan buahnya.  Demikianlah kaum Farisi dan imam-imam kepala Yahudi pada masa itu, yang merasa diri saleh, besar dan suci. Ketika Allah mengutus Yesus sang putar, mereka menolaknya. Bahkan membuang dan membunuh Yesus.

Allah memberi kepercayaan penuh pada kita untuk mengelola kebebasan yang diberikan kepada kita untuk merawat dan menghasilkan buah limpah bagi Allah. Yusuf adalah orang yang dapat memanfaatkan kebeasan yang diberikan kepadanya dengan sebaik-baiknya, sehingga ia menjadi orang penting di Kerajaan Mesir, sampai akhirnya ia justru mengangkat derajat saudara-saudaranya yang telah membuangnya. Itulah gambaran baik tentang pekerja Allah.

Marilah kita seperti Yusuf, mengelola kebebasan yang diberikan Allah kepada kita dengan satu kunci: �percaya dan setia kepadaNya.� 
------------------------------------------------
Bacaan 1: Kejadian 37:3-4,12-13a, 17b-28
Injil: Mat 21:33-43,45-46

Tuesday, March 14, 2017

Ih.... Susah ya Memaafkan si Pengkhianat

Tidak ada yang lebih sakit daripada dikhianati oleh orang yang kita sayangi dan telah kita tolong sekuat tenaga. Kita lebih mudah memaafkan musuh yang dari awal berusaha membunuh kita, ketimbang teman baik yang menusuk kita dari belakang. Demikianlah pula yang dialami oleh Yeremia yang telah berdoa untuk menjauhkan amarah Allah dari bangsanya, dan murid-murid Yesus yang mendengar temannya ingin �melebihi� mereka. 


Ada satu situs, mungkin beberapa, yang mempertemukan orang-orang di berbagai belahan dunia dengan pengalaman dikhianati. Begitu menyedihkan pengalaman mereka. Ada yang curhat bahwa teman baiknya merebut pacarnya dengan cara menjelek-jelekannya, atau teman baiknya menyebarkan rahasia keluarganya kepada semua orang. Rasa dikhianati juga dapat muncul dalam karya pelayanan kita. Ada yang mengatakan: �sudah susah-susah melayani, tapi tidak dihargai sama pastor dan umatsendiri.� Efek dari pengkhianatan adalah ketidakpercayaan kepada orang lain, yang kemudian mengarah kepada isolasi diri, dan keputusasaan.

Namun Tuhan Yesus memiliki tips untuk mengatasi perasaan ini. Apabila dari awal kita telah meletakkan diri kita sebagai pelayan maka pengkhianatan seperti apapun akan diterima. Sama seperti Dia yang dikhianati oleh murid-muridNya dan oleh kita sekarang ini, Ia menerimanya dengan tangan terbuka. Ia membalas pengkhianatan dengan kesetiaan. Mampukah kita seperti  Yesus?

-----------------------------------------
Rabu, 15 Maret 2017
Hari Biasa Pekan II Prapaskah
Bacaan 1: Yer 18:18-20
MT: Mzm 31:5-6,14-16
Injil: Mat 20:17-28

Thursday, March 9, 2017

Ampunilah Perbedaan

Tetapi jikalau orang fasik bertobat dari segala dosa yang dilakukannya dan berpegang pada segala ketetapan-Ku serta melakukan keadilan dan kebenaran, ia pasti hidup, ia tidak akan mati.
Segala durhaka yang dibuatnya tidak akan diingat-ingat lagi terhadap dia; ia akan hidup karena kebenaran yang dilakukannya.
Bagaimana Anda merespon sesuatu atau seseorang yang berbeda dengan Anda? Kesal? Marah? Biasa saja? Ngambek?


Dari kecil kita sudah melihat semua orang berbeda, baik dari pemikiran, sikap, keinginan, bahkan kepercayaan. Kita pengen pizza, adik kita pengen kue. Kita mau main, guru menyuruh belajar. Kita suka sama si A, oraangtua lebih menyukai si B. Perbedaan-perbedaan itu menyulitkan. Kita harus terus berkompromi, merendahkan hati, mengalah, mendesak, mengorbankan sesuatu. Perbedaan antar manusia adalah sumber dari segala konflik di dunia ini.

Memahami bahwa perbedaan adalah sumber konflik, ketidakbahagiaan dan pada akhirnya berujung pada kebinasaan, maka Allah membuka seluas-luasnya pintu pengampunan. Di dalam bacaan pertama Allah menegur mereka yang menginginkan orang fasik binasa. Di dalam Injil, Yesus menegur mereka yang sering mengata-ngatai: Kafir! Jahil! Pada sesamanya. Semangat dari Bapa dan Putra ini adalah sama: Terimalah perbedaan, mohonlah pengampunan, perolehlah kedamaian.

Dengan semangat yang sama, Bapa Suci Paus Fransiskus I berpesan:

Tidak ada keluarga yang sempurna.
  Kita tidak punya orang tua yang sempurna,
  kita tidak sempurna,
  tidak menikah dgn orang yg sempurna,
  kita juga tidak memiliki anak yang sempurna.

Kita memiliki keluhan tentang satu sama lain.
  Kita kecewa dengan satu sama lain.
  Oleh karena itu,
  tidak ada pernikahan yang sehat
  atau keluarga yang sehat tanpa olah pengampunan.

Pengampunan adalah
  penting untuk kesehatan emosional kita
  dan kelangsungan hidup spiritual.

Tanpa pengampunan
  keluarga menjadi
  sebuah teater konflik &
  benteng keluhan.

Tanpa pengampunan
  keluarga menjadi sakit.

Pengampunan adalah
  sterilisasi jiwa,
  penjernihan pikiran &
  pembebasan hati.

Siapa pun
  yang tidak memaafkan
  tidak memiliki ketenangan jiwa & persekutuan dengan Allah.

Rasa sakit adalah
  racun yg meracuni &  membunuh.

Mempertahankan luka hati adalah
  tindakan merusak diri sendiri.
Ini adalah Autofagi.

Dia yang tidak memaafkan
  memuakkan fisik, emosional dan spiritual.

Itulah sebabnya
  keluarga harus menjadi
  tempat kehidupan &
  bukan tempat kematian;
  sebuah tempat penyembuhan
  bukan tempat penuh dgn penyakit;
  sebuah panggung pengampunan dan
  bukan panggung rasa bersalah.

Pengampunan
  membawa sukacita
sedangkan kesedihan
  membuat hati luka.

Dan pengampunan
  membawa penyembuhan,
sedangkan rasa sakit
  menyebabkan penyakit.



---------------------------
Jumat 10 Maret 2017
Bacaan 1: Yeh 18:21-28
MT: Mzm 130: 1-4, 6-8
Injil: Mat 5:20-26

Tuesday, March 7, 2017

Kata-katanya Sama, Kok Efeknya Beda?

Bacaan pertama (Yun 3:1-10) dan bacaan Injil (Luk 11:29-32) mengacu kepada 1 kata: �perkataan�. Bacaan pertama mengenai perkataan Nabi Yunus. Bacaan injil mengenai perkataan Tuhan Yesus. Keduanya mengatakan hal yang sama: �Bertobatlah!� Tapi efek dari perkataan yang sama ini berbeda bagi orang Niniwe dan orang Israel. Padahal kata-kata Yesus sudah ditopang oleh perbuatan-perbuatanNya yang ajaib, sementara tidak ada bukti bahwa Nabi Yunus melakukan hal yang ajaib di antara Bangsa Niniwe. Mengapa demikian? 

Efek kata-kata berbeda dikarenakan 2 sebab:
  1.  Sebab yang pertama adalah si Pembicara � orang yang mengeluarkan kata-kata. Kandidat pemilu banyak berjanji, namun janji-janji itu kosong belaka apabila orang melihat bahwa jejak rekam si kandidat itu tidak baik, atau janji-janjinya mustahil dilaksanakan. Kata-kata nasihat yang dikeluarkan orang tua kepada anaknya pun bisa jadi tidak efektif membuat si anak berubah karena si orangtua itu tidak memberikan teladan yang baik.
  2. Sebab kedua adalah si Penerima � orang yang mendengarkan atau membaca kata-kata itu. Kata-kata yang sama: �Rencana itu baik,� dapat diinterpretasikan oleh si A yang tidak memiliki praduga apa-apa sebagai: �rencana itu bisa berjalan.� Namun si B yang memiliki pengalaman gagal dapat membacanya sebagai: �rencana itu baik kalau saja�...� Penerima yang mendengar dengan hati terbuka dan hati tertutup akan merasakan efek berbeda dari kata-kata yang sama.


Santo Agustinus sebelum ia menjadi Katolik, adalah seorang yang mempelajari berbagai kitab suci dan sudah berkali-kali menghabiskan Alkitab. Akan tetapi pada suatu malam ia mendengar 1 ayat, yang pasti sudah berkali-kali juga ia baca, dan ia bertobat. Mengapa? Karena pada malam itu, ia membuka hatinya terhadap kata-kata yang sama, sehingga efek kata-kata itu menjadi luar biasa baginya.


Karena itu Yesus sangat kecewa dan mengatakan bahwa angkatan ini adalah angkatan jahat, lebih jahat dari bangsa Niniwe yang mendengar dengan hati terbuka terhadap seruan yang sama: �Bertobatlah!� Bagaimana dengan Anda? Anda yang sudah mendengar pewartaan Yesus yang telah membuktikan diriNya. Ia sudah taat sampai mati, tidak seperti Yunus yang sempat membelot. Si Pembicara � yaitu Yesus � sudah sempurna. Semuanya tergantung Anda�. Bagaimana Anda akan menerima kata-kata Yesus di dalam diri Anda. 

Recent Post