Latest News

Tuesday, August 29, 2017

Hidup Saleh itu Sulit

Midah Simanis Bergigi Emas, Pramoedya Ananta Toer
Hidup saleh itu sulit. Dalam novelnya, Midah Simanis Bergigi Emas, Pramoedya Ananta Toer berkisah tentang si Midah yang berusaha hidup suci di tengah kehidupan yang ganas di kota Jakarta. Midah berupaya untuk menangkis semua ajakan lelaki untuk tidur dengannya, walaupun dengan risiko kelaparan. Midah melakukan ini semua karena takutnya akan Allah yang dikenalnya sejak kecil lewat bapaknya yang haji. Tapi pada akhirnya Midah terpaksa kalah terhadap roda kehidupan karena ia tidak mau menjadi beban bagi nama baik bapaknya yang  haji. Ia ingin agar dosa-dosa itu dibebankan hanya kepadanya sendiri, dan tidak kepada keluarganya maupun anaknya.

Membaca novel ini kita bisa merenungkan betapa motivasi baik dan usaha yang keras kadang-kadang memiliki konsekuensi yang tidak diinginkan. Demikianlah yang dihadapi oleh setiap pelayan Tuhan di dalam setiap panggilannya. Godaan demi godaan, baik dari sisi ekonomi maupun moralitas, terus menggedor pintu panggilan. Tidak salahlah kata Paulus dalam bacaan pertama ketika ia mengingatkan akan jerih payah usaha mereka ketika memberitakan Injil. Terkadang urusan ekonomi bisa menjadi batu sandungan untuk menerima Injil yang diberitakan, misalnya pada orang-orang yang bergantung hidup kepada pewartaan sebagai sumber nafkahnya.


Oleh karena itu janganlah kita jadi seperti orang-orang munafik yang melabur sisi luar dengan cat putih bersih tapi dalamnya penuh dengan tengkorak (Bacaan Injil). Jangan berprasangka buruk dengan orang lain karena kita semua memiliki cacat. Jangan berpikir bahwa hal buruk tidak dapat terjadi pada diri kita. Jangan bergosip tentang keburukan orang lain. Mari kita berpikir yang baik, mengatakan yang baik, melakukan yang baik.


------------------
Bacaan Liturgi 30 Agustus 2017
Rabu Pekan Biasa XXI
Bacaan Pertama: 1Tes 2:9-13

Bacaan Injil: Mat 23:27-32

Tuesday, August 22, 2017

Ambisi Kita = Harimau Kita

Seorang guru memerintahkan murid-muridnya untuk berjalan melewati padang penuh bunga. Ia menyuruh murid-muridnya untuk mengambil satu bunga yang paling cantik di padang itu. Syaratnya si murid tidak boleh berpaling ke belakang untuk mengambil bunga yang telah dilewatinya. Murid-murid itu melaksanakan perintah itu dan menemui gurunya dengan tangan kosong. Mengapa demikian? Sang murid berharap bahwa di depan sana akan ada bunga yang lebih cantik. Dan akhirnya mereka tidak mendapatkan apapun.

Ambisi dan keserakahan adalah dua penghalang utama menuju kebahagiaan. Pernahkah melihat orang yang ambisius dan serakah berbahagia? Mereka tidak pernah merasa puas dengan dirinya. Posisinya sekarang hanya dilihat sebagai batu loncatan menuju posisi yang lebih baik. Harta yang dimilikinya sekarang dirasa belum cukup untuk membahagiakannya.


Di bacaan pertama pohon-pohon yang diminta untuk menjadi raja atas segala pohon pada dasarnya menolak. Mereka bersyukur dengan apa yang mereka miliki dan hasilkan saat ini. Pohon zaitun merasa beruntung karena minyaknya, pohon ara karena manisan dan buah-buahnya, dan pohon anggur karena airnya. Bahkan pohon semak yang tidak menghasilkan apa-apa memberikan syarat sulit agar ia mau diangkat raja. Sebaliknya dalam bacaan Injil tampak ambisi dan keserakahan manusia yang mau mendapat lebih daripada teman-temannya. Padahal awalnya mereka pun tidak memiliki apa-apa sampai ditawari kerja oleh si tuan rumah. Marilah kita meninggalkan segala ambisi dan keserakahan kita, dan kita melayani Tuhan dan sesama dengan setulus hati, sekuat tenaga dan dengan seluruh talenta kita.


------------------------------
Bacaan Liturgi 23 Agustus 2017
Rabu Pekan Biasa
Bacaan Pertama: Hak 9:6-15

Bacaan Injil: Mat 20:1-16a

Wednesday, August 16, 2017

Yesus Sang Pengantara Agung

Pengantara. Kita sudah sering mendengar bahwa Tuhan Yesus adalah pengantara kita kepada Allah Bapa. Tapi apa arti dari pengantara? Di kantor, saya adalah orang yang tidak memiliki bawahan, tapi memiliki atasan. Atasan saya membawahi beberapa orang yang mendapat perintah langsung darinya. Karena atasan saya adalah orang yang keras, maka banyak bawahannya tidak berani langsung berbicara dengannya baik tentang masalah pekerjaan maupun pribadi. Seringkali mereka memintaku untuk berbicara dengan atasan tersebut. Kenapa si atasan mendengarkanku padahal statusku adalah bawahan? Ini terkait dengan struktur organisasi di mana aku memiliki posisi yang spesial di kantor. Aku adalah pengantara atasanku dan bawahannya. Mempertahankan posisi sebagai pengantara adalah hal yang sulit. Aku harus belajar mendengarkan kedua belah pihak, memahami cara pandang mereka, memberikan mereka pemahaman cara pandang pihak lainnya, dan akhirnya dengan lembut mendorong keduanya untuk mendapatkan sebuah penyelesaian yang dihormati kedua belah pihak.

Musa adalah pengantara bangsa Israel sebelum Yesus datang. Musa memohon kepada Allah agar diberikan seseorang yang dapat menggantikannya sebagai kepala umat agar umat Tuhan tidak seperti domba-domba yang tak bergembala. Musa memiliki posisi yang spesial, sebagaimana disebutkan di ayat �Tetapi tiada lagi seorang nabi yang bangkit di antara orang Israel seperti Musa yang dikenal Tuhan dengan berhadapan muka.� Posisi ini spesial karena diberikan Allah kepadanya secara khusus. Dan ketika bangsa Israel berusaha berbicara langsung pada Allah, maka mereka takut dan gemetar (Kel 20:18-19).

Yesus adalah pengantara umat manusia. Ia datang dengan posisinya yang jauh lebih spesial daripada posisi Musa: Anak Allah. Dan berbeda dengan Musa yang setelah kematiannya tidak memilih seorang pengantara kepada Allah, Yesus menunjuk kita semua secara bersama-sama menjadi pengantara kepada Yesus dan Yesus akan mengantarai kita kepada Bapa. Itulah sebabnya Ia berkata: �Jika dua orang di antaramu di dunia ini sepakat meminta apa pun, permintaan mereka itu akan dikabulkan oleh Bapa-Ku yang di surga.�


Posisi perantara adalah spesial. Ia mampu memberikan pesan kepada kedua belah pihak dengan cara yang khusus untuk setiap pihak. Maukah kamu menjadi pengantara saudaramu kepada Yesus, pengantara agung kita? Posisi kita spesial karena kita beriman pada Yesus. Tapi tidak cukup demikian, kita pun harus belajar terus mendekatkan diri pada Yesus di dalam persekutuan, agar kita dapat memahami apa yang diinginkanNya buat kamu dan saudaramu. Marilah kita terus berdoa agar kita pun dapat menjadi pangantara permohonan sebagaimana yang dipercayakan Yesus kepada kita.


-----------------
Bacaan Liturgi 16 Agustus 2017
Rabu Pekan Biasa XIX
PF S. Stefanus dari Hungaria
Bacaan Pertama: Ul 34:1-12

Bacaan Injil:  Mat 18:15-20

Tuesday, August 8, 2017

Kalah Takut dengan Iman

Takut adalah perasaan yang sulit untuk dijelaskan. Kadang takut itu tidak rasional dan tidak terbendung. Pada waktu kecil saya pernah diajak naik sebuah wahana permainan yang berputar-putar. Karena tidak menyangka, maka sepanjang permainan saya berteriak ketakutan dan gemetar pada saat keluar. Rasa takut itu masih menyangkut di diri saya sampai dewasa, dimana saya tidak berani naik roller coaster, bahkan wahana yang tidak terlalu menakutkan seperti wahana Niagara (dengan perahu terjun ke air). Dengan sadar saya bertekad untuk mengalahkan ketakutan saya supaya bisa bermain seperti orang lain. Tapi kesadaran itu tidaklah cukup. Saya keluar dari wahana tetap dengan badan gemetar dan wajah pucat, bahkan ketika wahana itu hanyalah simulasi 3D dari roller coaster.


Kenapa rasa takut itu muncul? Menurut pakar psikologi, takut muncul karena adanya ketidakpercayaan terhadap kesanggupan diri untuk mengatasi masalah yang muncul. Saya tidak yakin  sanggup untuk mengatasi apa yang terjadi apabila ada hal yang tidak terduga keluar dari wahana yang saya naiki. Kesepuluh utusan Israel tidak yakin sanggup untuk mengatasi bangsa-bangsa raksasa di Kanaan. Celakanya, mereka juga tidak yakin bahwa Allah yang telah berjanji memberikan tanah itu kepada mereka sanggup dan mau untuk membantu mereka merebut tanah itu. Seorang pegawai takut kepada bosnya karena merasa tidak sanggup untuk menghadapi konsekuensi kemarahannya. Anak yang dibully tidak yakin sanggup untuk berkelahi melawan anak yang lebih besar atau lebih senior. Remaja yang bunuh diri tidak yakin sanggup menghadapi dunia tanpa teman yang menyayanginya apa adanya.


Dan apa obat dari rasa takut? Iman. Lihatlah apa yang dikatakan oleh ibu yang memohon pertolongan dari Yesus. Walaupun Yesus mengatai dia seakan-akan anjing, tapi ibu itu beriman bahwa Tuhan mampu dan sanggup untuk menolong dia, bahkan hanya dengan remah-remah berkat saja. Ibu itu yakin bahwa remah-remah berkat Tuhan, setelah dibagikan pada anak-anak Israel, masih cukup untuk menyembuhkan anaknya. Kaleb dan Yosua beriman bahwa Allah yang telah berjani memberikan Kanaan pada Israel, mau dan sanggup untuk menaklukkan raksasa-raksasa yang kini mendiami tanah itu. Bagaimana iman kita sendiri? Sudah sanggupkah iman kita mengalahkan rasa takut, takut akan masa depan, takut akan sakit penyakit tak terobati, takut akan kehidupan anak-anak kita, takut akan besarnya utang kita, dan semua ketakutan yang ada.


--------------
Bacaan Liturgi 09 Agustus 2017
Rabu Pekan Biasa XVIII
Bacaan Pertama: Bil 13:1-2a.25-14:1.26-29.34-35

Bacaan Injil: Mat 15:21-28

Thursday, August 3, 2017

Iman Kristiani di Dalam Budaya

Kristiani sering kali disamakan dengan budaya Barat. Pengantin Kristen berpakaian putih. Orang Kristen minum anggur (wine). Pakaian orang Kristen jas dan dasi. Rock n Roll itu Kristen. Orang Kristen yang sakit harus dibawa ke kedokteran ala Barat. Anak-anak Kristen harus masuk pendidikan ala Barat.


Itu semua tidak benar. Kalau kita melihat di berbagai tempat di Indonesia, banyak orang Kristen tidak dapat dibedakan secara kasat mata dengan orang-orang lainnya di budaya yang sama. Percaya Yesus tidak sama dengan percaya bahwa semua yang berasal dari Barat adalah baik. Bahwa kebetulan itu ada lebih dikarenakan agama Kristen dibawa oleh saudara-saudara dari Barat (Portugis, Belanda dan Inggris).

Yesus, yang ajaranNya dilanjutkan oleh para rasulNya dan gerejaNya yang satu, kudus, katolik dan apostolik, tidak mengajarkan bahwa budaya Yahudi adalah yang terbenar. Tapi bahwa Yesus adalah orang Yahudi dan karenanya caraNya mengajar dipengaruhi oleh bagaimana orang Yahudi berpikir, itu benar. Kalau tidak bagaimana kita dapat mengajar dengan efektif ketika kita tidak masuk kepada dunia berpikir murid-murid kita?

Contoh yang paling mudah adalah ketika Yesus bertemu dengan perempuan Samaria. Orang Samaria beribadah di Gunung Gerizim, sementara orang Yahudi beribadah di Yerusalem. Namun Yesus tidak mempermasalahkan hal tersebut, bahkan Ia berkata bahwa kita akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran. Sementara contoh yang termudah dari bagaimana Gereja Perdana meneruskan hal tersebut adalah tentang masalah sunat. Sunat adalah budaya khas Israel yang tidak diikuti oleh orang-orang Kristen non Yahudi di masa itu, walaupun Yesus pasti bersunat.

Sejak jaman konsili Vatikan II kita melihat bahwa Gereja Katolik Roma makin melebarkan pandangannya dalam hal budaya. Gereja Katolik makin menerima bahwa budaya-budaya di seluruh dunia hadir sebagai persiapan atas datangnya iman Kristiani. Budaya-budaya itu memang tidak sempurna, tapi tidak dilihat sebagai suatu kejahatan. Hal ini tertuang dalam dokumen Konsili Vatikan II yang berjudul Gaudium et Spes (Konstitusi Pastoral Gereja di Dunia Dewasa Ini): �Sebab Allah, yang mewahyukan Dirinya sepenuhnya dalam Putera-Nya yang menjelma, telah bersabda menurut kebudayaan yang khas bagi pelbagai zaman.� Dari pernyataan ini jelas bahwa Gereja Katolik menganggap budaya-budaya yang ada mengandung pewahyuan Allah.

Lebih jauh Nostra Aetate (Hubungan Gereja dengan Agama-agama Bukan Kristiani) menyatakan: �Sudah sejak dahulu kala hingga sekarang ini diantara pelbagai bangsa terdapat suatu kesadaran tentang daya-kekuatan yang gaib, yang hadir pada perjalanan sejarah dan peristiwa-peristiwa hidup manusia; bahkan kadang-kadang ada pengakuan  terhadap Kuasa ilahi yang tertinggi atau pun Bapa. Kesadaran dan pengakuan tadi meresapi kehidupan bangsa-bangsa itu dengan semangat religius yang mendalam. Adapun agama-agama, yang terikat pada perkembangan kebudayaan, berusaha menanggapi masalah-masalah tadi dengan faham-faham yang lebih rumit dan bahasa yang lebih terkembangkan. Demikianlah dalam hinduisme manusia menyelidiki misteri ilahi dan mengungkapkannya dengan kesuburan mitos-mitos yang melimpah serta dengan usaha-usaha filsafah yang mendalam.�

Dari sini tampak bahwa iman pada Yesus mengatasi budaya. Orang Kristiani harus dapat menyesuaikan diri pada budaya tempat ia hidup, sekaligus mengubah budaya itu menjadi sumber dan lahan pewartaan iman yang subur.

Di Indonesia kita memiliki seorang tokoh yang sudah memahami hal ini luar dalam. Dia adalah Uskup Soegijapranata yang terkenal dengan kata-katanya: �100% Katolik, 100% Indonesia.�


Saya merefleksikan ini di dalam kebudayaan tanah Tapanuli. Disana rumah-rumah memiliki pintu yang pendek sehingga semua orang harus membungkuk untuk masuk ke dalamnya. Falsafah yang saya tangkap dari pemandu saya waktu itu adalah: �Seorang Raja pun harus membungkuk ketika masuk ke dalam rumah.� Ini sangatlah tepat pada konteks iman dan budaya, di mana Raja Yesus pun akan membungkuk kepada budaya di mana Ia tinggal, akan tetapi toh Dia tetap raja. Demikian pula kita sebagai murid-muridNya, kita harus menghormati budaya di mana kita tinggal dan orang-orang yang menganut budaya itu. Tapi toh kita tidak boleh terlena dengan budaya, melainkan terus mengubah budaya tersebut menjadi iman yang sempurna pada Yesus. 

Wednesday, August 2, 2017

Menjadi Nabi yang Dihormati di Rumahnya

Kita sering mendengar umat yang aktif di gereja yang berkata: �Yesus juga bilang nabi tidak dihormati di rumahnya sendiri.� (Mat. 13:54-58)  Ini menjadi suatu �alasan� bagi orang untuk menjauh dari rumahnya dan mencari apresiasi di luar rumahnya, yaitu di gereja. Di gereja, mereka menjadi orang yang dihormati, diangkat menjadi ketua seksi, dicari orang, didengarkan pendapatnya. Sementara di rumah, mereka tetap di-�cuekin�, anak-anaknya tidak mencari dia untuk �curhat�, pasangannya tidak mendengarkan opininya.

Hati-hati, ini mungkin disebabkan oleh komunikasi dan kasih sayang di dalam rumah tidak dijaga sedemikian rupa. Apakah anda sudah menjadi teladan di rumah anda? Apakah anda masih merokok? Apakah anda ngomel berkepanjangan? Apakah anda mencari kesenangan di luar rumah? Apakah anda berani memprioritaskan keluarga anda ketimbang hal lainnya? Apakah anda pernah mengorbankan waktu dan keinginan anda untuk menghadiri acara yang penting bagi anggota keluarga anda atau membelikan sesuatu yang sangat diinginkan oleh mereka?


Yesus berkata demikian karena Ia ditolak walaupun telah berusaha sekuat tenaga. Apakah demikian pula dengan anda? Mari kita merefleksikan hal-hal yang telah kita lakukan dan tidak kita lakukan. Mungkin di dalamnya ada pertobatan yang menunggu untuk dilakukan. Mari kita menjadi nabi yang dihormati di rumah maupun di masyarakat. Tuhan Yesus memberkati. 

Memanggil Para Penuai

Dalam pengalaman melayani umat, sangat sulit untuk mencari umat yang mau mengajukan diri menjadi katekis atau prodiakon atau ketua wilayah atau ketua seksi. Sering kali akhirnya kita mendapatkan orang-orang yang  �terpaksa� untuk menempati posisi itu. Makin lama umat lainnya merasa bahwa pelayanan adalah beban, pelayanan tidak lagi ada sukacitanya, dan makin menjauh dari gereja karena takut disuruh melayani.


Bagaimana kita dapat mendorong orang melayani tanpa menjadikannya suatu beban, tapi malahan memampukannya melampaui dirinya sendiri yang status quo? Dari beberapa pengalaman yang saya lihat, orang yang mendorong orang lain untuk melayani, mari kita sebut dia pemohon, sering kali memaksakan si calon pelayan untuk melayani. Beberapa permintaan disertai dengan ancaman: �kamu sudah diberikan banyak berkat masa masih gak mau melayani.� Ini seakan-akan mengindikasikan berkat yang telah diberikan akan diangkat ketika tidak melayani. Ada yang disertai dengan penyepelean persoalan: �Cuma posisi gitu aja kok.�

Tidak ada yang salah sebenarnya dengan ini semua, karena kadang-kadang semua ini diperlukan untuk mendorong orang untuk melangkah keluar dari zona nyaman mereka. Tapi tidak selamanya ini akan berhasil ketika sumber permasalahan calon pelayan tidak lebih dulu diidentifikasi. Hasilnya, dorongan itu menjadi tidak efektif.

Ada 5 golongan reaksi ketika calon pelayan menerima permohonan pelayanan pertama kali: �Mau banget�, �Mau aja�, �Netral�, �Menolak�, dan �Menolak keras.� Kelimanya dapat dilihat pada tabel. Sebagian besar calon pelayan akan berada pada 3 reaksi yang di tengah, yaitu menolak, netral dan mau aja. Solusinya lebih kepada bagaimana si pemohon menjelaskan dan memotivasi calon pelayan saja. Sementara yang mau banget juga tentunya tidak sulit untuk diajak, walaupun harus mewaspadai adanya kemungkinan ambisi yang besar yang akhirnya akan menjadi konflik bagi kerjasama dengan pelayan lainnya.

Namun lebih sulit adalah ketika kita menemukan calon pelayan yang menolak keras. Untuk umat yang menolak keras, kita perlu memahami sumber penolakan  yang secara singkat dapat disebut konflik. Konflik waktu, yaitu bahwa ia terlalu sibuk di tempat lain dan akan memiliki konflik dengan waktu pelayanannya. Konflik keluarga, bahwa di dalam keluarganya masih ada konflik yang tak dapat diselesaikan dan akan terbawa kepada pelayanannya. Konflik di antara pelayan, yaitu ketika pengalaman pelayanannya yang dahulu terjadi konflik dengan teman pelayannya, dan  ini membuatnya enggan kembali melayani.

Apapun konflik yang dihadapinya, pemohon pelayan harus memahami bahwa tidak seorangpun yang mampu untuk membuatnya keluar dari konflik tersebut kecuali dirinya sendiri. Kita bisa memberikan alternatif solusi, sharing pengalaman dan sebagainya. Tapi solusi konflik adalah khas pada setiap situasi yang dihadapi dan kepribadian yang dimiliki para pihak yang berkonflik. Tidak ada solusi umum yang dapat digunakan di setiap konflik.

Bagaimana kita membantunya untuk memecahkan konflik? Ada beberapa langkah yang harus ditempuh untuk orang-orang yang menolak keras:
1.       Mengurai simpul. Konflik-konflik kecil yang berturut-turut sering kali membuat perasaan yang tidak menentu dan tidak jelas. Agustinus yang tidak dapat mengatur waktunya di rumah, di kantor dan bermain menjadi sering mendapat hukuman karena tidak melaksanakan pekerjaannya. Ini membuat dia merasa bahwa ia memiliki konflik waktu sehingga tidak dapat melakukan pelayanan dengan baik. Pertanyaan yang perlu dijawab adalah bagaimana mengatur waktu dengan baik. Bernardus pernah sakit hati karena kata-kata orang di gereja. Ia merasa enggan melayani karena ia tidak nyaman dengan gereja karenanya, tapi tidak tahu kenapa. Pertanyaan yang harus digali adalah apa yang membuatnya sakit hati dan kepada siapa.

Apabila karena kepribadiannya atau ketidakpercayaannya dengan  si pemohon pelayanan, calon tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, maka informasi dapat diperoleh dari orang-orang di sekitarnya, termasuk ketua lingkungan atau teman baiknya. Melalui penyelidikan ini pemohon dapat mengetahui dengan lebih baik apa yang menjadi keberatan dari si calon pelayan.

2.       Memberikan tantangan. Setelah menemukan simpul-simpul konflik, kita perlu menunjukkan bahwa penting baginya memecahkan konflik itu. Pemecahan itu dapat berupa pengaturan waktu yang lebih baik, pengampunan terhadap seseorang, pengaturan uang, pendamaian dalam keluarga. Tantangan perlu diberikan secara eksplisit dan jelas. Artinya tidak dalam bentuk sindiran atau ironi atau analogi.

Dalam tahap ini dapat pula diberikan gambaran apa yang bisa dilakukan oleh si calon untuk menghadapi tantangan itu, misalnya berupa sharing pengalaman dari si pemohon atau lainnya. Berikan pula pengertian bahwa tantangan ini adalah seperti ujian naik kelas yang harus dilewati, dimana setelahnya, si calon akan lebih kuat dan bijaksana.  

3.       Memberikan waktu dan pendampingan. Melewati tantangan membutuhkan waktu. Waktu untuk mempersiapkan mental, waktu untuk menghadapi tantangan itu sendiri, dan waktu untuk berefleksi mengumpulkan energi. Pada tahap ini perlu pula si pemohon menyediakan pendampingan secukupnya, baik dari sapaan, waktu dan apapun yang mungkin dibutuhkan oleh si calon ketika menghadapi tantangan tersebut.

Pada tahap ini paksaan tidak efektif. Sering kali pemohon  karena keterbatasan waktu, memaksa agar si calon menerima duluan. Akan tetapi ini menjadi tidak efektif dan akan menjadi beban pelayanan, serta berpotensi menciptakan konflik di masa depan. Oleh sebab itu pada tahap ini perlu disadari bahwa untuk menciptakan motivasi yang sesungguhnya, diperlukan situasi yang bebas, di mana si calon dapat memilih untuk menunggu, menyetujui dan bahkan menolak untuk melayani. Tahap ini paling sulit bagi si pemohon.... akan tetapi sangat berguna bagi si calon untuk menemukan dirinya sendiri serta semangatnya.

Mungkin pada tahap ini, ada suatu nasihat ataupun doa yang dapat digunakan oleh si pemohon:

God, grant me 
the serenity to accept the things I cannot change,  
the courage to change the things I can
and the wisdom to know the difference

Tuhan, berikan aku
keikhlasan untuk menerima apa yang tak bisa kuubah
keberanian untuk mengubah apa yang bisa kuubah
dan kebijaksanaan untuk mengetahui perbedaannya

Semoga dengan menerapkan hal ini, kita dapat menarik lebih banyak umat menjadi pelayan yang tulus dan penuh sukacita. 

Tuesday, August 1, 2017

Menyinarkan Cahaya Allah

Bila sering membaca buku, buku apa saja, tentu sering diceritakan bahwa ada saatnya wajah orang bercahaya, bersinar-sinar, atau berbinar-binar. Sering kali kondisi ini disandingkan dengan saat ketika orang tersebut bahagia, mendapatkan sesuatu yang tak diduga-duga atau yang sudah lama didambakan, atau setelah bertapa (biasanya ini kalau di buku silat jaman dulu). Tentu para pembaca tidak menanggapi ini secara harafiah sehingga menaruh orang tersebut di dalam ruang gelap untuk menguji apakah sungguh ia bercahaya seperti lampu atau lilin. Tapi hal ini untuk menggambarkan ada sesuatu pada dirinya yang berbeda dan mempengaruhi orang-orang di sekitarnya. Pengaruh itu dapat begitu hebatnya sehingga ada orang yang menjadi ikut sukacita, tapi ada pula yang kemudian menjadi takut.

Inilah yang terjadi pada Musa ketika ia habis berbicara dengan Allah. Di dalam dirinya terdapat suatu perbedaan yang sungguh dapat dirasakan oleh orang-orang sekitarnya, walaupun Musa sendiri tidak menyadari hal itu. Dan ketika ia menyadarinya, ia berusaha menyelubunginya supaya orang tidak takut dan lalu gagal fokus terhadap pesan yang ingin disampaikannya. Tapi mengapa wajah Musa bersinar-sinar setelah ia berbicara dengan Tuhan? Tidak lain tidak bukan karena Tuhan adalah sumber kebahagiaan dan sumber cahaya, jauh melebihi emas, mutiara, bahkan harta terpendam. Kebahagiaan dari Allah terpancar dari diri Musa. Musa memandang kedekatan dengan Allah lebih daripada harta, dan oleh karenanya ia dianugerahi kedekatan dengan Allah yang tak seorangpun nikmati Bila kita tidak berdosa, maka kita akan ikut bahagia karena pancaran itu. Tapi karena orang Israel merasa berdosa, maka mereka merasa takut.

Sebaliknya sering pula kita membaca bahwa ada orang-orang yang memancarkan kegelapan. Semua orang yang mendekatinya merasa takut, gelisah, gemetar. Berbicara dengannya memberikan tekanan tersendiri bagi orang-orang lain. Biasanya orang-orang ini digambarkan sebagai orang-orang jahat, mereka yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan diri sendiri dan bahkan untuk kematian banyak orang.


Menjadi orang seperti apakah yang aku dan kamu inginkan? Apakah menjadi orang yang memancarkan cahaya dan kebahagiaan pada orang lain, atau memancarkan ketakutan? Bila yang pertama yang dipilih, maka berbuatlah seperti Musa, memandang bahwa kedekatan dengan Allah lebih indah daripada harta terpendam dan mutiara, selalu berusaha mendekat pada Allah dalam doa dan mendengarkan pesanNya dengan baik. Semoga kita pun memancarkan cahaya yang dianugerahkan Allah pada setiap anakNya.

------------
Bacaan Liturgi 02 Agustus 2017
Rabu Pekan Biasa XVII
PF S. Eusebius Vercelli, Uskup
Bacaan Pertama: Kel 34:29-35

Bacaan Injil: Mat  13:44-46

Recent Post