Latest News

Wednesday, June 27, 2018

Menatap Tuhan Lewat Orang Lain

Ada orang pernah memberikan pernyataan ini: �Kita bisa belajar tentang Tuhan di mana saja termasuk dari media online seperti youtube dan website-website yang sudah sangat banyak dan rasanya sudah lengkap.� Pernyataan itu benar ketika kita ingin mendalami bagaimana kemahakuasaan Tuhan di dalam alam semesta. Kita bisa belajar tentang alam semesta yang sangat luas, kedalaman dan kekayaan laut yang belum sepenuhnya terselami, dan hal-hal lain yang sifatnya masih menunggu penjelajahan indera kita.

Namun, pernyataan itu benar-benar salah ketika kita ingin mengetahui bagaimana Tuhan bekerja di dalam dan melalui manusia. Kita mengenali Tuhan yang bekerja di dalam manusia hanya melalui kontak langsung dengan manusia itu. Ada orang yang membuat video tentang Tuhan secara luar biasa, namun di dalam kehidupan pribadinya ia sangat kasar terhadap orang lain. Ada orang yang sederhana saja hidupnya, namun cintanya pada orang lain begitu luar biasa. Pada orang-orang yang disebutkan terakhir itulah kita sungguh melihat Tuhan yang bekerja, bukan hanya Tuhan yang mahakuasa.

Dalam bacaan pertama kita melihat Tuhan bekerja di dalam hati Raja Yosia yang ketika menemukan kitab Tuhan, ia langsung memerintahkan bangsanya untuk mematuhi Tuhan. Kenapa rakyatnya langsung melakukan perintahnya itu? Salah satunya karena rakyatnya melihat langsung apa yang dilakukan oleh sang raja: membacakan kitab dan berdiri di dekat tiang, sehingga kita bisa menggambarkannya berdiri di tengah-tengah rakyatnya. Pertemuan-pertemuan personal seperti ini menggetarkan hati: dahulu maupun sekarang. Mari kita, sesama umat Tuhan, berkumpul dan saling menguatkan, karena melalui satu sama lain, kita bertemu dengan Tuhan yang kita imani.

----------------
Bacaan Liturgi 27 Juni 2018
Hari Biasa, Pekan Biasa XII
PF S. Sirilus dari Aleksandaria, Uskup dan Pujangga Gereja
Bacaan Pertama: 2Raj 22:8-13;23:1-3
Bacaan Injil: Mat 7:15-20


Tuesday, June 19, 2018

Melayani Dalam Rendah Hati & Penuh Sukacita


Di dalam pelayanan kita akan menemui banyak orang yang juga melayani, namun menurut pendapat kita, pelayanan mereka adalah untuk dirinya sendiri. Ciri-cirinya adalah mereka bangga terhadap apa yang telah mereka lakukan, dan mereka seakan-akan menuntut pujian dan balasan atas apa yang mereka lakukan. Pertemuan intensif dengan para pelayan seperti ini dapat menggoyahkan ketulusan kita, membuat kita malas melayani atau malah terpengaruh dengan mereka untuk ikut berbangga dengan diri sendiri. Terkadang godaan untuk melakukan keduanya begitu kuat sehingga kita perlu teman sepelayanan atau sebuah retret yang baik untuk mengembalikan kita kepada kesadaran pelayanan kita yang sejati.



Perasaan seperti ini lazim dan wajar terjadi karena para pelayan yang bangga pada diri sendiri biasanya adalah orang-orang yang vokal, terdengar suaranya, terlihat pekerjaannya. Karena mendengar dan melihat ini, kita menjadi sering menyisihkan para pelayan lain yang sebenarnya jumlahnya lebih banyak, yaitu mereka yang mengerjakan segala sesuatunya di dalam diam, tiba lebih dahulu di dalam suatu acara dan pulang terakhir. Mereka tidak tampil di depan, tapi tanpa mereka banyak hal menjadi terlantar. Merekalah yang para pelayan yang mengharapkan upah Bapa di surga, bukan upah manusia.



Mari kita lebih optimis terhadap rekan-rekan sepelayanan kita. Kita yakin dan berusaha mengajak semua pelayan untuk menemukan pelayanan yang sejati, yang ditunjukkan oleh Nabi Elisa dalam bacaan pertama dan diajarkan Yesus dalam bacaan kedua. Nabi Elisa turut dengan gurunya, Nabi Elia sampai kepada kesudahannya. Ia meminta hanya sebagian dari apa yang dimiliki oleh gurunya, ia percaya apa yang diyakini oleh gurunya. Imannya bertumbuh dari iman seorang murid, menjadi iman seorang nabi baru, dan Tuhan menyertainya selalu.



---------------------

Bacaan Liturgi 20 Juni 2018
Hari Biasa, Pekan Biasa XI
Bacaan Pertama: 2Raj 2:1.6-14
Bacaan Injil: Mat 6:1-6.16-18

Tuesday, June 5, 2018

Harapan sebagai Sumber Kehidupan

Di dalam sebuah buku, The World Until Yesterday, karangan Jared Diamond, ia berargumentasi bahwa agama dilihat sebagian orang sebagai upaya manusia untuk menjelaskan hal-hal yang belum dapat dimengerti, dan untuk memberikan harapan serta kekuatan untuk menjalani hidup yang terkadang sangat berat. Karena argumen-argumen seperti ini, banyak orang kini menganggap agama hanya sebagai �kebohongan semata�, �kekuatan sugestif�, dan sebagainya. Artinya agama bukan bersumber dari yang mahakuasa, melainkan dari kita yang membutuhkan suatu pegangan hidup.

Benar atau tidaknya argumen itu akan tergantung dari bagaimana kita memiliki iman. Tapi faktanya adalah agama memberikan pemeluknya suatu harapan bahwa hidup di dunia ini singkat tapi sangat menentukan bagaimana kita nanti hidup kekal. Hidup benar saat ini, hidup seribu tahun yang menyenangkan di surga. Hidup sesat saat ini, hidup selamanya di dalam api sekam.

Bagi orang ateis, tidaklah mungkin ada kebangkitan. Begitu kita mati, maka kita akan lenyap. Bagi mereka, suatu ketiadaan kekal merupakan hal yang tidak perlu disesalkan, cukup lakukan yang terbaik di dalam umur kita yang singkat di dunia ini. Namun benarkah demikian? Ada banyak kasus bunuh diri karena mereka merasa penderitaannya di dunia terlalu berat, sehingga ketiadaan menjadi lebih baik daripada ada tapi sakit.

Orang yang tidak memiliki keyakinan akan kebangkitan, tidak memiliki pula makna hidup. Apa makna hidup kita di dunia ini? Ya, agar kita dibangkitkan pada hidup yang kekal dan melihat bahwa semua yang kita lakukan itu baik adanya. Ada harapan yang terkandung disitu. Maka berbahagialah kita yang percaya akan kebangkitan, karena dengan demikian, penderitaan kita di dunia ini menjadi bermakna.

---------------------
Bacaan Liturgi 06 Juni 2018
Hari Biasa, Pekan Biasa IX
PF S. Norbertus, Uskup
Bacaan Pertama: 2Tim 1:1-3.6-12
Bacaan Injil: Mrk 12:18-27

Recent Post