Latest News

Tuesday, February 27, 2018

Ambisi dan Cita-cita

Ambisi, adalah keinginan yang besar untuk mencapai sesuatu cita-cita. Ambisi adalah energi yang diperlukan untuk mencapai cita-cita pribadi. Namun ambisi juga memiliki konotasi bahwa seseorang akan melakukan apapun untuk mencapai cita-cita pribadi itu.

Kita melihat di bacaan pertama dan Injil hari ini adalah orang-orang yang ambisius, yang berani melakukan apa saja untuk mencapai cita-citanya. Di bacaan pertama tampillah para lawan Nabi Yeremia yang bersedia untuk menutup diri terhadap perkataan-perkataan nabi. Di bacaan Injil tampillah ibu dari anak-anak Zebedeus dan kedua anaknya yang ingin duduk di sebelah kanan dan kiri Tuhan Yesus.


Di dalam kehidupan kita juga kita menemukan berbagai macam orang dengan berbagai macam ambisi seperti ini. Ada yang ingin jadi pemimpin di kantor, ada yang ingin menjadi penguasa di kota, ada yang ingin jadi ternama. Realita ini tidak pupus ketika kita melihat di dalam kehidupan pelayanan menggereja. Ada yang ingin menjadi ketua, baik ketua seksi ataupun ketua lingkungan, ada yang ingin menjadi anggota dewan paroki. Kita sendiri mungkin terjebak di dalam ambisi pribadi kita.


Cita-cita kita mungkin luhur: mengatur sehingga menjadi baik, memimpin ke arah yang benar, melayani sebanyak-banyaknya orang. Ini pun terjadi seperti lawan Nabi Yeremia yang mungkin berpikir mereka sedang menguji keabsahan nabi Yeremia sebagai seorang nabi Tuhan. Demikian juga mungkin kedua murid Yesus tidak menyadari bahwa di dalam perjuangannya menjadi murid yang baik, mereka telah menumbuhkan api ambisi yang negatif. Demikian pula kita, ketika kita tidak terus menerus mempertanyakan motivasi kita di hadapan Allah, kita akan terbawa ke dalam ambisi yang negatif. Karena itu di dalam setiap pekerjaan dan pelayanan kita, marilah senantiasa kita persembahkan pada Allah, agar niat yang tulus tetap memperoleh jalan yang benar. 

-----------------------------
Bacaan Liturgi 28 Februari 2018
Hari Biasa Pekan Prapaskah II
Bacaan Pertama: Yer 18:18-20

Bacaan Injil: Mat 20:17-28

Tuesday, February 20, 2018

Tanda Apa yang Kamu Minta?

Seorang pemburu yang tidak terlalu berani, sedang mencari jejak seekor singa. Dia lalu bertemu dengan seorang penebang kayu di dalam hutan dan dia pun bertanya kepada penebang itu jika saja ia melihat adanya tanda-tanda jejak sang Singa atau tahu di mana singa tersebut bersarang. "Saya tahu," kata penebang kayu itu, "sekaligus saya bisa menunjukkan dan memperlihatkan kamu dimana Singa itu berada sekarang." Sang Pemburu berubah menjadi sangat pucat hingga giginya berbunyi karena gemetaran akibat rasa takut. Ia pun menjawab, "Tidak, terima kasih, saya tidak meminta semua itu, saya hanya mencari jejak kakinya, dan bukan singanya."

Fabel Aesop itu serupa dengan cerita orang-orang jaman Yesus. Mereka selalu meminta bukti, bukti bahwa Yesus adalah benar-benar Tuhan. Padahal mereka tidak sadar, apabila Yesus sungguh sudah datang di dalam kemuliaanNya, maka mereka tidak akan selamat. Kalau Yesus dalam seluruh kemuliaanNya muncul, maka mereka takkan sanggup menatapNya, sama dengan Saulus yang tak sanggup melihat cahaya ilahi Yesus hingga ia menjadi buta.


Karena itu janganlah meminta bukti dan tanda pada Allah, melainkan segeralah bertobat dan meninggalkan jalan yang lama. Mari kita mempergunakan Sakramen Tobat yang telah disediakan Yesus bagi kita sebagai sarana pertobatan dan menjalani hari-hari dengan penuh sesal sekaligus harapan. 


-------------------
Bacaan Liturgi 21 Februari 2018
Hari Biasa Pekan Prapaskah I
PF S. Petrus Damianus, Uskup dan Pujangga Gereja
Bacaan Pertama: Yun 3:1-10
Bacaan Injil: Luk 11:29-32

Tuesday, February 13, 2018

Jangan Nengok Ke Belakang Terus....

Kecepatan lari rusa mencapai 90 km/jam. Kecepatan lari singa cuma 58 km/jam. Selisih kecepatan kedua binatang ini jauh sekali sehingga kita pasti mengira rusa selalu akan menang kalau dikejar singa. Tapi faktanya kita sering melihat bahwa rusa tertangkap oleh singa. Kok Bisa? Ketika mengetahui seekor Singa mengintai & memburunya, seekor Rusa berlari secepat angin untuk menyelamatkan dirinya.Namun dalam waktu yang bersamaan rusa merasa lemah dan ia yakin betul bahwa singa akan memangsanya sehingga ia sering melihat ke belakang. Pantauan ke belakang ini menyebabkan  lari rusa semakin lambat & membuat singa semakin mendekatinya.Andai saja rusa tidak sering2 melihat ke belakang, niscaya kecepatannya akan stabil dan sudah pasti singa tidak dapat memangsanya.Kalau saja rusa mengerti betul titik KEKUATAN nya ada pada KECEPATAN nya, niscaya dia akan selamat dari cengkraman singa.

Di dalam Injil, Yesus berkata, jangan sampai melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat.Karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di sorga. Kita harus yakin bahwa KEKUATAN kita adalah pada ALLAH YANG ADA DI MANA-MANA walaupun Ia tidak nampak. Kekuatan kita bukan pada pujian orang lain. Maka sama seperti rusa, tidak perlu melakukan kewajiban agama dengan terus menerus melihat ke �belakang�. Hal itu hanya akan memperlemah kekuatan imanmu dan tidak menambah apa-apa terhadap kekudusanmu. Namun sama seperti rusa, kita harus yakin bahwa  Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.


Mari kita menyambut masa Prapaskah ini dengan berdoa dan berpuasa pantang dengan tekun dan setia sambil menantikan keselamatan yang akan datang dari Allah kita melalui Tuhan Yesus Kristus. 

---------------------------
Bacaan Liturgi 14 Februari 2018
Hari Rabu Abu
Bacaan Pertama: Yl 2:12-18
Bacaan Kedua: 2Kor 5:20-6:2

Bacaan Injil: Mat 6:1-6.16-18

Friday, February 9, 2018

Taati Hukum dengan Cina

Belakangan ini beredar kisah tentang seorang ibu di negeri China yang melahirkan 12 orang bayi. Pemerintah negara China memberi waktu pada orangtua ke-12 bayi itu 1 minggu untuk memilih 1 orang bayi saja untuk dibesarkan oleh mereka. Sisanya yang 11 akan diambil oleh negara. Di tempat lain di negeri China juga, bayi-bayi dikabarkan dijual di pasar gelap untuk dimutilasi. Bagian tubuh yang sehat bisa dijual sebagai donor organ, dan yang tidak bisa didonasikan akan dijadikan makanan. Benar tidaknya kabar-kabar itu sulit dipastikan. Yang pasti, kisah-kisah semacam itu membuat hati kita tersentak karena rasanya sulit menerima bahwa hal-hal itu masih ada di dunia saat ini.

Tak lama sebelum ini, seorang teman berkomentar: �jangan bangga dengan kemanusiawian kita, jangan meremehkan orang-orang yang bagi kita tidak mengindahkan Hak Asasi Manusia (HAM), karena dunia yang kita kenal saat ini masih muda. Hanya beberapa abad yang lalu, kita masih barbar.�

Ketika kita merenungkan hal-hal di atsa, kita diajak juga untuk merenungkan situasi bangsa Israel ketika menerima hukum Taurat. Dengan hukum itu, bangsa Israel menjadi bangsa yang lebih manusiawi dibandingkan bangsa-bangsa lain jaman itu (lihat Ul 4:8). Dahulu ketika persembahan bayi lazim dilakukan, Tuhan mengharamkannya bagi Israel. Waktu orang asing biasa dibunuh dan disiksa, Tuhan bersabda untuk melindungi mereka. Pada zaman itu, menaati hukum Taurat sama sulitnya dengan membawa konsep HAM ke negeri China.

Yesus datang di jaman di mana semua bangsa di luar bangsa Israel sudah menerapkan sebagian hukum Taurat. Apa yang dianggap wajar di zaman Perjanjian Lama, tidak lagi dipraktekkan. Namun situasi tidak manusiawi tetap terjadi dengan bentuk yang berbeda: pemaksaan aturan, ketidakpedulian terhadap orang lain, obsesi untuk menyucikan diri sendiri walaupun dengan mematikan orang lain. Pada situasi inilah Yesus datang, tidak untuk menghapus hukum Taurat, tapi untuk menggenapinya:

�Lakukanlah hal-hal baik ini [Hukum Taurat]...... berdasarkan cinta kasih [Hukum Cinta Yesus].�

Maka mari kita taat pada hukum dan melaksanakannya dengan penuh cinta.

----------------
Bacaan Liturgi Rabu, 7 Maret 2018
PW St. Perpetua dan Felisitas
Ul 4:1.5-9

Mat 5:17 - 19

Tuesday, February 6, 2018

Najis atau Tidak?

Belakangan ini sangat santer berita tentang toko atau penyedia jasa yang menolak melayani beberapa pelanggannya, bahkan yang sudah bekerjasama bertahun-tahun, karena dianggap najis. Anggapan najis bisa karena pelanggan itu memiliki keyakinan lain, atau memiliki binatang yang dianggap haram, atau memilih cara hidup yang tidak sesuai dengan keyakinannya sendiri. Pertanyaan yang seharusnya muncul di benak kita adalah:pernahkah kita juga melakukan hal tersebut kepada sesama kita? Kita menolak melayani yang tidak kita sukai. Kita menghindari pelayanan yang tidak kita nikmati. Kita menolak mendekati orang lain karena takut akan disakiti baik hati maupun raganya.

Berbahagialah kita orang Kristiani karena Tuhan Yesus telah menyatakan secara jelas bahwa yang menajiskan kita bukanlah sesuatu yang dari luar. Bukan karena persentuhan kita secara badani dengan orang yang berbeda dengan kita. Bukan karena makanan yang kita makan dan minuman yang kita minum. Namun konsekuensi dari perkataan ini sebenarnya sangat berat karena Tuhan meneruskan: yang menajiskan adalah pikiran jahat, walaupun pikiran itu belum berbuah dalam tindakan; kesombongan, walaupun kita tidak pernah mengatakan sesuatu yang merendahkan. Lebih sulit untuk menjaga sesuatu yang muncul dari dalam hati ketimbang menghindari sesuatu yang dapat kita lihat dan rasakan.


Dan ketika kita telah dipenuhi oleh pikiran jahat, mampukah kita menjadi seperti Salomo, penuh hikmat dan kebenaran sehingga Ratu Syeba bertekuk lutut dan mengakui Allah? Bila Salomo menghindari orang yang berbeda keyakinan, maka sampai saat ini pun Ratu Syeba yang datang dari daerah di luar Israel takkan berkata: �Terpujilah Tuhan, Allahmu, yang telah berkenan kepadaku sedemikian, hingga Ia mendudukkan engkau di atas takhta kerajaan Israel!� Maka marilah kita selalu menguduskan hati dan pikiran kita melalui refleksi dan pengakuan dosa terus menerus, agar yang keluar dari kita adalah hikmat dan kebenaran dari Tuhan sendiri. 

---------------------
Bacaan Liturgi 07 Februari 2018
Hari Biasa, Pekan Biasa V
Bacaan Pertama: 1Raj 10:1-10

Bacaan Injil: Mrk 7:14-23

Recent Post