Latest News

Wednesday, October 31, 2018

Sukacita ini membuat kita bebas — Paus Fransiskus



“Kalian yang hadir di Misa, apakah kalian memuji Allah atau apakah kalian hanya mengajukan permohonan kepada Allah…? Apakah kalian memuji Allah?…. 

Jika kalian tidak memuji Allah, kalian tidak akan pernah tahu rasa tanpa pamrih, dari menghabiskan waktu untuk memuji Allah. 

Misa [akan terasa] panjang dan lama! Tetapi jika kalian datang dengan sikap sukacita, sikap memuji Allah ini, Misa itu indah! 

Inilah yang akan terjadi dalam kekekalan: 
memberikan pujian kepada Allah! 
Dan itu tidak akan membosankan: ini indah! 
Sukacita ini membuat kita bebas.” — Paus Fransiskus (Homili, 31 Mei 2013)

Santo Marcellus, Martir

30 Oktober
Santo Marcellus, Martir
Perwira Romawi yang bertugas di Tanger, Afrika ini konon menjadi Kristen dan dipermandikan langsung oleh Santo Petrus Rasul. Ia menolak mengikuti upacara korban untuk memuja kaisar dan dewa-dewa Romawi. Dengan tegas ia berkata: "Aku hanya mengabdi kepada Raja Abadi, Tuhanku Yesus Kristus". Akibatnya ia langsung ditangkap dan dihukum mati pada tahun 298.
---
Deo omnis Gloria
Segala kemuliaan bagi Allah.

Sumber: http://www.imankatolik.or.id/kalender/30Okt.html

Tuesday, September 11, 2018

Liturgi yang Menyatukan: Inkulturasi atau Interkulturasi?


EXCERPT SEMINAR KATEKESE LITURGI
�LITURGI EKARISTI YANG MENYATUKAN�
Aula Petrus, Gereja Kristus Salvator
9 September 2018, pk. 11.00 � 13.30



MC (Katarina Widyaningrum)
Inkulturasi adalah istilah yang dipakai pertama kali pada tahun 1973 oleh G.L. Barney dalam bidang missiologi, misi nilai-nilai injil mengatasi kultur untuk diwartakan di budaya setempat sehingga terbentuk budaya baru yang bersifat Kristen.

Istilah ini secara khusus dipakai di bidang katekese pada tahun 1975. Santo Paus Yohanes Paulus II menyatakan bahwa inkulturasi adalah inkarnasi Injil dalam pelbagai budaya ke dalam kehidupan gereja. Pemakaian istilah inkulturasi di bidang liturgi sendiri mulai disebarluaskan pada tahun 1979.


Liturgi adalah perayaan pertemuan antara Allah dan manusia, serta di antara anggota persekutuan yang dipersatukan Allah dalam Ekaristi. Dokumen Liturgi tentang Inkulturasi menyatakan bahwa perbedaan-perbedaan dapat diterima gereja dengan sangat hati-hati agar tidak melanggar norma-norma liturgi, karena pelanggaran norma liturgi dapat membawa kita pada dosa sakrilegi, yaitu melecehkan sesuatu yang sakral.  

Moderator (Rowena Suryobroto)
Apa sih yang akan dibahas di dalam Seminar yang berjudul Liturgi  Ekaristi yang Menyatukan ini.

Kita mengetahui bahwa Dokumen Redemptionis Sacramentum (Sakramen Penebusan) menyatakan bahwa Wewenang untuk mengatur liturgi semata-mata ada pada pimpinan Gereja, yaitu Tahta Apostolik, dan menurut kaidah hukum, pada Uskup. Tahta Apostoliklah yang berwenang mengatur liturgi suci seluruh Gereja, menerbitkan buku-buku liturgi serta memberikan recognitio terjemahannya ke dalam bahasa-bahasa pribumi, dan juga mengawasi agar di mana pun peraturan-peraturan liturgi, khususnya yang menyangkut perayaaan Kurban Misa yang begitu agung, ditepati dengan setia.

Di pihak lain kita juga mendengar bahwa Konsili Vatikan II membuka ruang bagi keberagaman. Konstitusi Liturgi Suci (Sacrosanctum Concillium) menyatakan: Dalam hal-hal yang tidak menyangkut iman atau kesejahteraan segenap jemaat, Gereja pun tidak ingin mengharuskan suatu keseragaman yang kaku dalam liturgi. Sebaliknya Gereja memelihara dan memajukan kekayaan yang menghiasi jiwa pelbagai suku dan bangsa. Apa saja dalam adat kebiasaan yang tidak secara mutlak terikat pada tahayul atau ajaran sesat, oleh Gereja dipertimbangkan dengan murah hati, dan bila mungkin dipeliharanya dalam keadaan baik dan utuh. Bahkan ada kalanya Gereja menampungnya dalam liturgi sendiri, asal saja selaras dengan hakekat semangat Liturgi yang sejati dan asli.

Di dalam konteks Indonesia yang sangat beragam ini tentunya kedua ekstrem ini tidaklah mudah untuk dicarikan jalan tengahnya. Pada beberapa kasus benturan yang terjadi bukan berujung pada suatu sintesis melainkan kepada perpecahan umat. Lebih buruk lagi apabila kondisi yang berkepanjangan membuat banyak umat menjadi apatis terhadap liturgi itu sendiri.

Oleh karena itu di sini ada Rm Harimanto, yang kita harapkan dapat membuka wawasan kita kepada Liturgi Ekaristi yang tetap setia pada hakekat semangat liturgi yang sejati, namun juga membuka ruang pada keanekaragaman tradisi yang kita miliki. Mari kita mengundang Rm.Harimanto untuk ke depan.

Rm. Christophorus Harimanto Suryanugraha OSC menerima sakramen imamat dan ditahbiskan menjadi imam Ordo Salib Suci (OSC) tahun 1993, 25 tahun yang lalu. Beliau saat ini menjabat Direktur ILSKI (Institut Liturgi Sang Kristus Indonesia) di Bandung yang tiap tahun secara rutin mengadakan kursus-kursus Liturgi dengan tema-tema  menarik yang dapat dilihat di sampul belakang Majalah Liturgi. Selain itu beliau juga adalah dosen liturgi dan Dekan Fakultas Filsafat Unika Parahyangan Bandung, anggota ahli di Komisi Liturgi KWI, serta pengisi setia kolom liturgi di Majalah Hidup. Tidak heran beliau begitu akrab dengan lingkungan liturgi, karena beliau mengambil S2 di bidang Liturgi di bidang Liturgi di Pontificio Institutio Liturgico Sant' Anselmo, Roma, universitas yang paling terkenal untuk bidang liturgi. Salah satu buku yang telah beliau terbitkan berjudul �Lakukanlah Ini: Sekitar Misa Kita� yang merupakan tanya jawab praktis tentang langkah-langkah dalam Misa.

Sebagai tambahan, Seminar ini juga diharapkan dapat menjadi langkah awal untuk menciptakan gerakan Misa Inkulturatif yang sesuai dengan liturgi Gereja Katolik yang satu dan benar, namun tetap dinamis untuk mengikuti perkembangan zaman sekaligus mempertahankan budaya-budaya yang diyakini adalah benih bagi penerimaan Yesus Kristus di dalam hati umat. Tindak lanjut dari Seminar ini adalah dilaksanakannya Misa Inkulturatif pada Hari Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 2018 di Gereja Kristus Salvator.

Dengan tidak panjang lebar lagi, waktu dan tempat kami berikan kepada Rm. Harimanto.

-------------------
Pembicara (RP Christophorus Harimanto Suryanugraha OSC)
Kita sering berbicara tentang Misa Inkulturasi. Tapi apakah cocok di kota besar ini, dengan berbagai kebudayaan yang berbeda-beda, kita melakukan inkulturasi. Jangan-jangan kita harus melakukan interkulturasi. Apa bedanya. Kita akan lihat.

Liturgi dan Budaya
Makna kata Liturgi. Asal kata liturgi adalah dari bahasa Yunani yaitu leit � ourgia. Leit / laos artinya bangsa, rakyat, umat. Ourgia / ergon artinya karya, kerja, aksi, tindakan. Jadi pada hakikatnya liturgi adalah:
         tindakan (kegiatan manusia: raga, jiwa, sukma)
         bersama (oleh Gereja, umat Allah, bersama Kristus, Sang Kepala = Tubuh Mistik Kristus)
         suci (karena berdialog dengan Allah)
         simbolis (menggunakan tanda-tanda lahiriah)
         resmi (dalam rangka unitas dan universalitas Gereja Katolik Roma)    MENYATUKAN !

Sementara itu apa arti kata Budaya/ Kultur? Di Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata budaya berarti 1. pikiran, akal budi; 2. adat istiadat; 3. sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju). Sementara Culture dalam Collins Cobuild E. L. Dictionary didefinisikan sebagai 1. consists of the ideas, customs, and art that are produced or shared by a particular society (terdiri atas ide, kebiasaan dan seni yang diproduksi dan dimiliki bersama oleh suatu masyarakat tertentu); 2. a particular society or civilization, especially one considered in relation to its ideas, its art, or its way of life (suatu masyarakat atau peradaban tertentu, terhubung dengan ide, seni dan cara hidup); 3. the intellectual and artistic aspects of a society (aspek intelek dan artistik dari suatu masyarakat).

Sementara itu budaya dalam Gaudium et Spes no. 53 adalah �Pada umumnya dengan istilah �kebudayaan� dimaksudkan segala sarana dan upaya manusia untuk menyempurnakan dan mengembangkan pelbagai bakat-pembawaan jiwa-raganya�. Oleh karena itu mau tak mau kebudayaan manusia mencakup dimensi historis dan sosial, dan istilah �kebudayaan� seringkali mengandung arti sosiologis dan etnologis. Dalam arti itulah orang berbicara tentang kemacam-ragaman kebudayaan.�


Ada 3 komponen budaya (dan liturgi)
1.       Values (nilai-nilai): prinsip yang mempengaruhi dan memberi arah bagi hidup dan aktivitas suatu komunitas (: dalam hal hospitalitas [: menyambut, menghibur], hidup keluarga/semangat komunitas [: pertemuan, pesta], kepemimpinan [: jabatan, gelar, relasi timbal balik).
2.       Institutions (pranata, kebiasaan, sistem tingkah laku/adat istiadat): praktek tradisional masyarakat yg merayakan fase-fase kehidupan, pergantian musim, even sosial-politik [: inisiasi, perkawinan].
3.       Cultural patterns (pola budaya sebagai penampilan identitas): cara berpikir atau cara membentuk konsep, ungkapkan pemikiran melalui bahasa, ritual, seni  [: cara menyambut, cara berpisah, cara menjamu makan]. Pola kultural memberi bentuk luaran bagi values dan institutions.

Ketiganya tidak terpisahkan, dan perlu dipertimbangkan di dalam melaksanakan suatu inkulturasi.

Beberapa Definisi
Ada beberapa istilah yang sempat dipakai untuk menggambarkan pertemuan antara kebudayaan dan liturgi.
1.       Indigenization (1970-an, D.S. Amalorpavadass: dari indigenuous (pribumi) > Indianisasi: Ada 3 tahap: [a] ciptakan setting India untuk ibadat dengan perkenalkan tata gerak, bentuk penghor-matan, benda suci, hening; [b] terjemahan yang memadai dan cipta lagu liturgis baru; [c] tempat-kan buku suci India, khususnya Rig Veda, dalam Liturgi Sabda.      Problem: tak mungkin, jadi pribumi di tanah asing? Murni pribumi tanpa pengaruh budaya lain?)
2.       Contextualization (1972, World Council of Churches: hidup dan misi Gereja perlu menjadi relevan dengan kondisi masyarakat kontemporer di sekitarnya. Konteks hidup Gereja mencakup pergulatan kebebasan politik, ekonomi, budaya; disukai Teologi Pembebasan. Konsep perjuangan demi keadilan-sosial memasuki liturgi, dalam bahasa dan simbol lain. Konteks adalah ekspresi vibran dari kebudayaan manusia.)
3.       Revision (1963, Konsili Vatikan II, Konstitusi Liturgi Sacrosanctum Concilium (SC): buku liturgis Latin perlu direvisi [dari praktek pra-Konsili Vatikan II/Tridentin] supaya hakikat dan tujuan ritusnya menjadi lebih jelas. SC 34: Revisi itu hendaknya sederhana namun anggun, singkat, jelas, tanpa pengulangan yang tak berguna; selaras dengan daya tangkap umat dan tidak membutuhkan penjelasan [corak klasik: sobrietas romana = kesederhanaan Romawi!].)
4.       Adaptation (Istilah resmi, khususnya dalam SC, art. 37-40:  sinonim antara aptatio dan accomodatio, beda: adaptasi jadi wewenang Konferensi Para Uskup (Komlit), akomodasi jadi wewenang pemimpin/pelayan liturgi, temporer. Adaptasi adalah program umum Gereja untuk memperbarui atau updating/ aggiornamento. Cara mencapai program itu? Lewat revisi dan adaptasi dengan kebutuhan zaman. Adaptasi adalah program umum pembaruan, sementara inkulturasi liturgi adalah salah satu cara untuk mencapainya.)
5.       Acculturation  (istilah dalam ilmu budaya: cukup lama diartikan sama dengan inkulturasi, namun sebenarnya berbeda.  A. Shorter: �pertemuan antara satu budaya dengan budaya lain, atau pertemuan antara dua budaya� (juxtaposition), dengan dasar �saling menghormati dan toleransi�, baru tahap dasar eksternal, kontak luaran. Maka, akulturasi adalah syarat penting untuk inkulturasi. Rumus akulturasi: A + B = AB, inkulturasi: A + B = C. Contoh baik akulturasi dalam liturgi: periode barok, tak masuki dan ganggu misa Trente; contoh keliru: gejala kini, misa ~ drama, nonton film, rosario!)
6.       Inculturation (1962, J. Masson, teolog Prancis dan 1973, G.L. Barney, misionaris Protestan dari New York, AS = inculturate; 1975, Sidang Umum Yesuit ke-32: dari enculturation [= sosialisasi, proses pembelajaran di mana seseorang masuk dalam budayanya], karena bahasa Latin tak ada awalan en- maka dipilih in-, jadilah inculturatio. Dengan bergeser, maka maknanya pun berubah dalam pemakaian teologis, liturgis, misiologis;  
         1979, Yohanes Paulus II perkenalkan ke dalam dokumen resmi Gereja [�salah satu untur misteri inkarnasi�];
         1979, C. Valenziano, profesor PIL Roma, menggunakannya dalam kaitan dengan liturgi: �sebagai metode yang dapat memberi interaksi timbal balik antara liturgi dengan berbagai bentuk kesalehan umat�. A. Shorter: �relasi kreatif dan dinamis antara pesan kristiani dengan satu atau beberapa budaya�;
         1985, Sinode Luar Biasa, deklarasi 4: �tak hanya adaptasi eksternal, tapi transformasi interior dari nilai-nilai kultural otentik melalui integrasi mereka ke dalam Kristianitas dan pengakaran Kristianitas dalam berbagai budaya manusia�.)
7.       Incarnation (1965, Konsili Vatikan II, Dekrit Ad Gentes art. 22: adaptasi sebagai inkarnasi, Yesus Kristus lahir sebagai orang Yahudi, inkarnasi Gereja lokal mengacu pada inkarnasi Yesus. Inkarnasi Yesus sbg model historis. �Inkarnasi� Gereja sbg realisasi berkelanjutan dari paradigma itu. Lebih tepat sebagai dasar teologis daripada sinonim untuk adaptasi liturgis. Liturgi tak hanya diadaptasikan tapi juga  diinkarnasikan! Bersatu  dengan tradisi dan budaya Gereja lokal.)
8.       Interculturation ([mengacu pada Edmund S dan Christine Glen] dalam perayaan liturgis yang sama terdapat perpaduan ciri khas budaya dari beberapa kelompok pendukung yang berbeda. Ada komunikasi iman di antara beragam kelompok peraya dengan cara ekspresi berbeda berdasarkan kekhasan budaya masing-masing. Jadi, tak hanya ada perpaduan antara dua budaya [Romawi dan satu budaya setempat = inkulturasi]. Biasanya terjadi di kota besar/metropolitan. Bisa kita sebut dengan liturgi �ragam budaya� ? menggunakan metode inkulturasi liturgi.)

Dalam Pedoman Umum Misale Romawi bab 9 digunakan istilah:
         Adaptasi (aptatio, penyerasian)
         Akomodasi (accomodatio, penyesuaian)
         Inkulturasi (inculturatio)



Jadi apa itu Inkulturasi Liturgi?
Inkulturasi Liturgi  adalah suatu proses yang mengintegrasikan unsur-unsur yang relevan dari budaya lokal ke dalam liturgi Gereja lokal.
1.       Integrasi = budaya lokal mempengaruhi cara doa-doa disusun atau dibawakan, bagaimana ritual dilakukan, dan bagaimana pesannya diungkapkan melalui bentuk-bentuk kesenian dalam liturgi.
2.       Integrasi = ritus, simbol, atau pesta dari budaya lokal dijadikan bagian dari liturgi Gereja lokal setelah ditilik secara kritis dan ditafsirkan dalam cahaya ajaran kristiani.

Ingat, inkulturasi adalah suatu �proses�, bukan karya yang sekali jadi. Masih perlu ditindaklanjuti melalui kritik dan evaluasi. Suatu upaya yang tidak begitu mudah. Kalau dilakukan secara terburu-buru dan kurang  hati-hati  tradisi liturgi yang  otentik akan tercemar  (PUMR 398).

Inkulturasi liturgi adalah liturgi Gereja lokal, tapi selalu mempertahankan dimensi universal karena isi atau makna esensialnya. Inkulit itu tidak aneh bagi bangsa, umat, atau pribadi lain di luar Gereja lokal itu. Masih bisa dikenali dan diakui oleh Gereja-gereja lain sebagai suatu bentuk otentik peribadatan Kristiani. Bagi Gereja universal, inkulturasi liturgi berarti keragaman dalam ekspresi dan kesatuan dalam iman dan tradisi Kristiani.

Pandangan Gereja tentang Inkulturasi
Liturgi harus menghargai budaya, namun sekaligus mengajak budaya itu untuk dibersihkan dan disucikan dalam iman Gereja. Pertama-tama, orang Kristen dari suku dan budaya apa pun harus menerima Alkitab Perjanjian Lama dan Baru sebagai Sabda Allah. Itu bagian dari imannya. Liturgi atau tanda-tanda sakramental yang mereka sambut hanya dapat dimengerti secara penuh dalam konteks Kitab Suci dan kehidupan Gereja.

Lalu, hakikat liturgi jangan  dilupakan. Liturgi adalah tempat pertemuan orang Kristen dengan Allah dan Kristus. Sekaligus, liturgi  adalah karya Kristus sebagai Sang Imam-Kepala  dan Gereja sebagaiTubuh-Nya. Di situ terjadi pemuliaan Allah dan pengudusan manusia. Dalam liturgi, Gereja mengungkapkan imannya secara simbolis dan bersama.

Untuk itulah diperlukan norma-norma dasar tentang liturgi. Peraturan diperlukan untuk menjamin kebenaran iman. Artinya, untuk menghindarkan kesalahan dan sekaligus untuk mewariskan iman secara utuh sehingga hukum doa (lex orandi) tetap selaras dengan hukum iman (lex credendi).

Prasyarat Inkulturasi
Harus dilihat dulu situasi tempat Gereja lokal berada. Ada Gereja yang mayoritas atau minoritas di tengah masyarakat. Ada pula yang berada di tengah masyarakat yang berbahasa dan budaya majemuk. Masing-masing punya tantangannya sendiri ketika berhadapan dengan budaya sekitarnya.

Lalu, perlulah dicari orang-orang yang kompeten  baik  dalam tradisi liturgi Romawi maupun apresisasi budaya lokal. Mereka diajak mempelajari sejarah dan makna  liturginya, antropologi, eksegese, dan teologi. Bahkan, pengalaman pastoral imam/klerus pribumi setempat amat penting peranannya.

Konferensi para  Uskup sebenarnya  harus menaungi seluruh proses ini.   Para uskup sebagai  penggerak (promotor), pengatur (moderator),  pengawas (custos)  kehidupan liturgi di keuskupannya masing-masing (PUMR 387).

Tujuan Inkulturasi Liturgi
Tujuannya sama dengan yang dimaksud Konsili Vatikan II untuk pembaruan liturgi pada umumnya. Bukan asal tercipta ritus baru, tapi untuk  menjawab kebutuhan  Gereja dalam kaitan  dengan budaya  tertentu.
         Tujuan utama: untuk membantu mengungkapkan hal-hal kudus yang dilambangkan dalam liturgi secara lebih jelas, sehingga dapat mudah dipahami umat, dan mereka dapat mengambil bagian secara penuh dan aktif.
         Tujuan jangka pendek: untuk menciptakan bentuk ibadat yang secara kultural sesuai dengan umat lokal, sehingga mereka dapat menganggapnya sebagai milik sendiri.


Prinsip Teologis Liturgi
1.       Pelaksanaan tugas imamat Yesus: anamnesis dan epiklesis;
2.       Perayaan komunal yang menampilkan Gereja sebagai komunitas hirarkis: pelayan dan struktur;
3.       Puncak dan sumber seluruh kegiatan Gereja: seia dan sekata antara liturgi dan kegiatan lain dalam Gereja;
4.       Partisipasi umat yang aktif, sadar, dan berbuah: tujuan yang terutama, tak mengabaikan adanya keragaman tugas pelayanan;
5.       Merawat tradisi dan terbuka pada kemajuan: penelitian yang cermat secara teologis, historis, pastoral;
6.       Allah berbicara dan Kristus masih mewartakan Injil-Nya: harus gunakan Kitab Suci sendiri, bukan teks lain; tipologi biblis utk unsur budaya lain.

Rambu-rambu Inkulturasi Liturgi
         Sebagai ungkapan iman dan hidup kristiani, jangan sampai inkulit itu berbau atau tampak seperti sinkretisme agama. Misalnya, dengan mengganti bacaan Kitab Suci kristiani dengan bacaan Kitab Suci agama lain. Doa, benda simbolis, busana, tata gerak, atau nyanyian dipinjam begitu saja dari budaya lokal tanpa tahu asal-usul dan fungsinya, tanpa di-kristen-kan dulu.
         Harap dihindari juga munculnya makna ganda dari unsur budaya yang dipakai.
         Yang lebih tegas lagi: sama sekali dilarang memasukkan ritus magis, takhayul, spiritisme, dan ritual yang berkonotasi seksual.
         Perlu dipertimbangkan pula bila ada risiko pemisahan diri jemaat kristiani dari masyarakatnya.
         Juga, perlu diwaspadai kemungkinan inkulturasi digunakan untuk tujuan politik.

Apa yang dapat digarap sebagai awal Inkulturasi Liturgi?
Misalnya: bahasa, musik-nyanyian, tata gerak-tarian, dan unsur kesenian lain (busana, peranti, perabot, arsitektur)  yang dapat membantu umat berliturgi, berdoa bersama kepada Tuhan.
Khususnya dalam ritus inisiasi, perkawinan, dan pemakaman kristiani bahkan boleh dipakai yang sesuai dengan adat setempat. Untuk Misa atau perayaan Ekaristi memang agak terbatas.

Tahapan Metodologi:
1.       Fokuskan pada teks/ritual dari buku resmi terbitan Vatikan/ET (= Editio Typica) atau terjemahan resminya;
2.       Pilih bagian yang memungkinkan untuk digarap, lalu telusuri sejarah, teologi, struktur, unsur fundamental, dan latar belakangnya;
3.       Identifikasi nilai, pranata (tata cara), pola (elemen-elemen kultural) yang ada pada unsur ET itu;
4.       Bandingkan yang terkandung dalam ET dengan Kultur komunitas lokal, cari kemiripan dan perbedaannya;
5.       Ungkapkan kembali titik temu antara ET dengan Kultur dalam bentuk liturgi �baru�, yang sesuai dan selaras. Pertimbangkan juga: kritik doktrinal dan moral, tipologi biblis, keuntungan pastoral dan spiritualnya;
6.       Perlu sosialisasi (diajarkan, dijelaskan, dilatihkan) pada umat sebelum dipraktikkan;
7.       Praktik, perayaan inkulit eksperimen;
8.       Ada evaluasi setelah praktik beserta upaya penyempurnaannya.

Ada banyak unsur dalam Misa kita yang bisa digarap. Pertama-tama harus dilihat dalam konteks dinamika perjalanan seluruh ritual Misa itu. Misa harus dilihat secara utuh, jangan dipikirkan ritual yang tanpa kaitan dengan konteks keseluruhan Misa. Lalu setiap unsur yang perlu diubah itu diselidiki dan diuji.


------------------
Moderator
Konstitusi tentang Liturgi Suci (Sacrosanctum Concillium) no.38 menyatakan Asal saja kesatuan hakiki ritus Romawi dipertahankan, hendaknya diberi ruang kepada kemajemukan bentuk dan penyesuaian yang wajar dengan pelbagai kelompok, daerah, dan bangsa.

Tapi sampai seberapa jauhkah ruang itu? Untuk membantu Gereja menginterpretasikan ini, Vatikan menerbitkan beberapa instruksi tentang pelaksanaan Konstitusi Liturgi Suci ini. Instruksi Ke-IV yang berjudul Liturgi Romawi dan Inkulturasi menekankan  perlunya kebijaksanaan Konferensi Waligereja yang memeriksa tiap-tiap kasus dengan saksama.

Kebijaksanaan Konferensi Waligereja ini sangat penting karena 3 unsur budaya yaitu nilai-nilai, institusi dan pola budaya hanya dipahami oleh pelaku kebudayaan setempat, supaya budaya yang ingin diinkulturasikan tidak hanya akulturasi yaitu sebagai tempelan, tapi sebagai Allah yang sungguh menjelma dalam Kristus di dalam Ekaristi yang kita rayakan.

Rm. Antonius Marius Tangi dari STFK Ledalero-Maumere menulis dalam Majalah Liturgi tahun 2005: �Misteri Ekaristi, tidak cukup hanya mengalaminya dengan indra, tetapi meresapinya dalam kedalaman hati dan budi serta jiwa setiap umat manusia. Semoga.�

Tuesday, July 10, 2018

Tobat: Bagaimana dan Ke Depannya

Pewartaan tentang pertobatan adalah pewartaan yang tak pernah berhenti. Pertanyaannya adalah seputar: bertobat dari apa, bagaimana caranya bertobat, setelah saya berhasil lalu apa?

Setiap orang memiliki pertobatannya masing-masing. Tidak ada seorang pun dapat memberikan saran yang 100% pas, melainkan saran-saran umum saja. Pertobatanku yang pertama adalah dari kesombongan. Namun tak seorang pun pernah menyarankan hal itu kepadaku karena mereka tidak melihat aku sombong. Tapi kesombonganku adalah kesombongan dalam diam, dimana aku melihat orang lain dan merasa bangga pada diriku sendiri. Jadi untuk mengetahui apa yang harus dipertobatkan, tiap orang harus mendalami dirinya sendiri melalui refleksi diri tiap hari.

Pertanyaan kedua: bagaimana cara bertobat? Pertobatan dimulai dari suatu kesadaran diri yang diutarakan di dalam bentuk komitmen untuk berubah. Sarana yang paling baik adalah dengan Sakramen Tobat. Penyesalan sekaligus komitmen untuk berubah dinyatakan di depan Tuhan dan Gereja, sehingga ada rasa yang tumbuh di dalam diri untuk bertahan pada komitmen tersebut, bahkan ketika terkadang kita tergelincir ke dosa yang sama. Selanjutnya komitmen untuk dihidupi dengan cara hidup yang baru. Perbaruan cara hidup membutuhkan disiplin, bahkan terkadang membutuhkan orang lain untuk mengingatkan. Misalnya ingin makin dekat pada Tuhan dinyatakan di dalam doa sebelum makan dan tidur. Pertama-tama tentu sulit, namun lama kelamaan akan menjadi suatu kebiasaan yang tak perlu dipikirkan lagi, alias cara hidup yang baru.

Pertanyaan terakhir, lalu apa? Orang cenderung berpikir bahwa dosanya hanya satu. Orang malas berdoa berpikir dosanya adalah kurang dekat pada Tuhan. Orang suka gosip  berpikir dosanya itu saja. Namun ketika kita akan segera menyadari ada bagian-bagian hidup kita yang masih perlu diubah selain dosa-dosa �utama� itu, sehingga kita akan selalu kembali kepada pertanyaan pertama: apa lagi yang perlu diubah di dalam hidup kita agar kita makin sempurna? Selamat berubah.

----------------------------
Bacaan Liturgi 11 Juli 2018
Hari Biasa, Pekan Biasa XIV
PW S. Benediktus, Abas
Bacaan Pertama: Hos  10:1-3.7-8.12
Bacaan Injil: Mat 10:1-7

Tuesday, July 3, 2018

St. Elisabet dari Portugal: Cermin Kesederhanaan dan Ketaatan

Hari ini adalah hari pesta St. Elisabet dari Portugal. Dua hal yang dapat kita pelajari dari dirinya yang juga merupakan tema bacaan pada hari ini. Satu, Tuhan menginginkan kebenaran dan keadilan yang terbungkus di dalam kesederhanaan. Kedua, setiap hal ada waktunya yang telah ditentukan oleh Tuhan sendiri.

St. Elisabet adalah seorang putri bangsawan yang menikah dengan raja Portugal. Ia merupakan moyang dari raja-raja di daerah sekitar. Namun hal ini tidak menyurutkan semangat kesederhanaan dan belas kasihnya. Ia tetap membantu orang miskin, meringankan penderitaan orang lain, walaupun sempat menjadi topik percakapan dan sumber niat buruk bagi komunitas kerajaannya. Ia beberapa kali menjadi sarana perdamaian bagi 2 pihak yang hampir berperang, termasuk antara suami dan anaknya sendiri. Sungguh, ia adalah teladan di dalam kesederhanaan namun tetap menjunjung kebenaran dan keadilan, sama seperti yang difirmankan Tuhan kepada Amos pada bacaan pertama, dimana Tuhan merendahkan perkumpulan raya dan kurban persembahan yang diadakan oleh orang yang hatinya tidak tertuju padaNya.

Dalam bacaan Injil kita mendengar bahwa roh-roh jahat bertanya pada Yesus apakah Ia akan menyiksa mereka �sebelum waktunya.� Secara tersirat kita dapat menyimpulkan bahwa mereka tahu bahwa ada waktu tertentu yang telah direncanakan Tuhan bagi mereka, dan tentunya bagi kita juga. St. Elisabet menjalani hidupnya dengan waktu yang direncanakan Tuhan. Ia dengan sabar tetap melaksanakan kebaikan hatinya di saat ia menjadi ratu. Ia berperan aktif di dalam kerajaan suaminya sebagai negosiator dan mediator. Ia menjadi teladan bagi keluarganya sehingga suaminya bertobat dari lakunya yang jahat. Dan ketika suaminya meninggal, ia melepaskan seluruh privilesenya dan masuk ke biara, sebagaimana yang telah lama diimpikannya.

-------------------------
Bacaan Liturgi 04 Juli 2018
Hari Biasa, Pekan Biasa XIII
PF S. Elisabet dari Portugal
Bacaan Pertama: Am 5:14-15.21-24
Bacaan Injil: Mat 8:28-34

Wednesday, June 27, 2018

Menatap Tuhan Lewat Orang Lain

Ada orang pernah memberikan pernyataan ini: �Kita bisa belajar tentang Tuhan di mana saja termasuk dari media online seperti youtube dan website-website yang sudah sangat banyak dan rasanya sudah lengkap.� Pernyataan itu benar ketika kita ingin mendalami bagaimana kemahakuasaan Tuhan di dalam alam semesta. Kita bisa belajar tentang alam semesta yang sangat luas, kedalaman dan kekayaan laut yang belum sepenuhnya terselami, dan hal-hal lain yang sifatnya masih menunggu penjelajahan indera kita.

Namun, pernyataan itu benar-benar salah ketika kita ingin mengetahui bagaimana Tuhan bekerja di dalam dan melalui manusia. Kita mengenali Tuhan yang bekerja di dalam manusia hanya melalui kontak langsung dengan manusia itu. Ada orang yang membuat video tentang Tuhan secara luar biasa, namun di dalam kehidupan pribadinya ia sangat kasar terhadap orang lain. Ada orang yang sederhana saja hidupnya, namun cintanya pada orang lain begitu luar biasa. Pada orang-orang yang disebutkan terakhir itulah kita sungguh melihat Tuhan yang bekerja, bukan hanya Tuhan yang mahakuasa.

Dalam bacaan pertama kita melihat Tuhan bekerja di dalam hati Raja Yosia yang ketika menemukan kitab Tuhan, ia langsung memerintahkan bangsanya untuk mematuhi Tuhan. Kenapa rakyatnya langsung melakukan perintahnya itu? Salah satunya karena rakyatnya melihat langsung apa yang dilakukan oleh sang raja: membacakan kitab dan berdiri di dekat tiang, sehingga kita bisa menggambarkannya berdiri di tengah-tengah rakyatnya. Pertemuan-pertemuan personal seperti ini menggetarkan hati: dahulu maupun sekarang. Mari kita, sesama umat Tuhan, berkumpul dan saling menguatkan, karena melalui satu sama lain, kita bertemu dengan Tuhan yang kita imani.

----------------
Bacaan Liturgi 27 Juni 2018
Hari Biasa, Pekan Biasa XII
PF S. Sirilus dari Aleksandaria, Uskup dan Pujangga Gereja
Bacaan Pertama: 2Raj 22:8-13;23:1-3
Bacaan Injil: Mat 7:15-20


Tuesday, June 19, 2018

Melayani Dalam Rendah Hati & Penuh Sukacita


Di dalam pelayanan kita akan menemui banyak orang yang juga melayani, namun menurut pendapat kita, pelayanan mereka adalah untuk dirinya sendiri. Ciri-cirinya adalah mereka bangga terhadap apa yang telah mereka lakukan, dan mereka seakan-akan menuntut pujian dan balasan atas apa yang mereka lakukan. Pertemuan intensif dengan para pelayan seperti ini dapat menggoyahkan ketulusan kita, membuat kita malas melayani atau malah terpengaruh dengan mereka untuk ikut berbangga dengan diri sendiri. Terkadang godaan untuk melakukan keduanya begitu kuat sehingga kita perlu teman sepelayanan atau sebuah retret yang baik untuk mengembalikan kita kepada kesadaran pelayanan kita yang sejati.



Perasaan seperti ini lazim dan wajar terjadi karena para pelayan yang bangga pada diri sendiri biasanya adalah orang-orang yang vokal, terdengar suaranya, terlihat pekerjaannya. Karena mendengar dan melihat ini, kita menjadi sering menyisihkan para pelayan lain yang sebenarnya jumlahnya lebih banyak, yaitu mereka yang mengerjakan segala sesuatunya di dalam diam, tiba lebih dahulu di dalam suatu acara dan pulang terakhir. Mereka tidak tampil di depan, tapi tanpa mereka banyak hal menjadi terlantar. Merekalah yang para pelayan yang mengharapkan upah Bapa di surga, bukan upah manusia.



Mari kita lebih optimis terhadap rekan-rekan sepelayanan kita. Kita yakin dan berusaha mengajak semua pelayan untuk menemukan pelayanan yang sejati, yang ditunjukkan oleh Nabi Elisa dalam bacaan pertama dan diajarkan Yesus dalam bacaan kedua. Nabi Elisa turut dengan gurunya, Nabi Elia sampai kepada kesudahannya. Ia meminta hanya sebagian dari apa yang dimiliki oleh gurunya, ia percaya apa yang diyakini oleh gurunya. Imannya bertumbuh dari iman seorang murid, menjadi iman seorang nabi baru, dan Tuhan menyertainya selalu.



---------------------

Bacaan Liturgi 20 Juni 2018
Hari Biasa, Pekan Biasa XI
Bacaan Pertama: 2Raj 2:1.6-14
Bacaan Injil: Mat 6:1-6.16-18

Tuesday, June 5, 2018

Harapan sebagai Sumber Kehidupan

Di dalam sebuah buku, The World Until Yesterday, karangan Jared Diamond, ia berargumentasi bahwa agama dilihat sebagian orang sebagai upaya manusia untuk menjelaskan hal-hal yang belum dapat dimengerti, dan untuk memberikan harapan serta kekuatan untuk menjalani hidup yang terkadang sangat berat. Karena argumen-argumen seperti ini, banyak orang kini menganggap agama hanya sebagai �kebohongan semata�, �kekuatan sugestif�, dan sebagainya. Artinya agama bukan bersumber dari yang mahakuasa, melainkan dari kita yang membutuhkan suatu pegangan hidup.

Benar atau tidaknya argumen itu akan tergantung dari bagaimana kita memiliki iman. Tapi faktanya adalah agama memberikan pemeluknya suatu harapan bahwa hidup di dunia ini singkat tapi sangat menentukan bagaimana kita nanti hidup kekal. Hidup benar saat ini, hidup seribu tahun yang menyenangkan di surga. Hidup sesat saat ini, hidup selamanya di dalam api sekam.

Bagi orang ateis, tidaklah mungkin ada kebangkitan. Begitu kita mati, maka kita akan lenyap. Bagi mereka, suatu ketiadaan kekal merupakan hal yang tidak perlu disesalkan, cukup lakukan yang terbaik di dalam umur kita yang singkat di dunia ini. Namun benarkah demikian? Ada banyak kasus bunuh diri karena mereka merasa penderitaannya di dunia terlalu berat, sehingga ketiadaan menjadi lebih baik daripada ada tapi sakit.

Orang yang tidak memiliki keyakinan akan kebangkitan, tidak memiliki pula makna hidup. Apa makna hidup kita di dunia ini? Ya, agar kita dibangkitkan pada hidup yang kekal dan melihat bahwa semua yang kita lakukan itu baik adanya. Ada harapan yang terkandung disitu. Maka berbahagialah kita yang percaya akan kebangkitan, karena dengan demikian, penderitaan kita di dunia ini menjadi bermakna.

---------------------
Bacaan Liturgi 06 Juni 2018
Hari Biasa, Pekan Biasa IX
PF S. Norbertus, Uskup
Bacaan Pertama: 2Tim 1:1-3.6-12
Bacaan Injil: Mrk 12:18-27

Tuesday, May 29, 2018

Pemimpin yang Melayani


Suatu hari ketika kantor saya mengadakan outbound bersama, saya belajar arti menjadi seorang pemimpin yang melayani. Grup yang besar dibagi-bagi menjadi grup-grup kecil dan diutus untuk melakukan perjalanan yang cukup melelahkan secara fisik, naik turun bukit yang licin dan berbatu-batu. Kebetulan saya berada di dalam satu rombongan dengan seorang wanita yang kurang disukai semua orang di kantor karena kinerjanya dan sikapnya terhadap pekerjaan, sebut saja namanya Ines.

Ines selalu tertinggal dari kelompok, sehingga kami harus selalu menunggu dia. Tentunya karena dia bukan orang yang kami sukai, menungguinya kami lakukan dengan kesal hati. Di tengah perjalanan, ia mengeluh bahwa ia tidak kuat lagi melanjutkan perjalanan. Semua anggota kelompok yang lain sepakat dengan cepat bahwa kita harus meninggalkannya di situ sendiri dan menyelesaikan permainan, lalu meminta orang untuk kembali ke situ dan menjemput dia.

Tapi ada satu orang yang tidak setuju. Ia memberikan usul bahwa ia akan menemani Ines di situ sampai pertolongan datang, atau kita semua akan menemani Ines dan memperlambat laju perjalanan kita. Orang ini masih muda, bahkan yang termuda dari antara kita, paling kuat, paling cepat dan lincah jalannya, dan disukai semua orang di kantor. Akhirnya kami semua sepakat untuk memperlambat laju perjalanan dan menyelesaikan permainan itu bersama-sama.

Hari itu saya menyadari, untuk menjadi seorang pemimpin, kita harus dapat mengenali siapa yang terlemah di antara kelompok kita. Dan karena kita bukan berasal dari �benih yang fana� melainkan �benih yang baka�, maka kita harus melayani yang terlemah itu dengan kasih persaudaraan yang tulus. Anak muda yang bahkan bukan orang Kristen itu telah memberikan pelajaran yang sangat berharga untuk saya, dan semoga juga untuk Anda, tentang pemimpin yang melayani yang diajarkan oleh Yesus Kristus.


-------------------------

Bacaan Liturgi 30 Mei 2018
Hari Biasa, Pekan Biasa VIII
Bacaan Pertama: 1Ptr 1:18-25
Bacaan Injil: Mrk 10:32-45

Tuesday, May 22, 2018

Kuasa Allah atas Kehidupan

Tentunya peristiwa pemboman gereja-gereja di Surabaya belum hilang dari ingatan kita. Setelah beberapa hari lewat dan berita-berita sudah mulai membicarakan latar belakang dan hal-hal yang tak kelihatan secara langsung, kita mulai mendengar beberapa kisah yang membuat kita merasa tak berdaya di hadapan Allah.

Seorang ibu yang meninggal dalam kejadian itu kebetulan bukan umat Surabaya, melainkan hanya datang ke Surabaya untuk suatu pameran. Karena ia mendengar bahwa gereja itu menarik secara arsitektur, maka ia memilih Gereja St. Maria Tak Bercela untuk Misa, padahal Katedral jauh lebih dekat dari hotelnya. Ketika ia sampai di gereja, ia tidak langsung masuk ke dalam, melainkan berjalan-jalan di dekat pintu gereja sampai bom itu meledak dan mengambil nyawanya. Sebaliknya seorang ibu lainnya yang biasa misa di gereja itu dan di jam itu, entah mengapa hari itu terlambat bangun dan terpaksa mengubah lokasi misanya ke gereja lain.

Allah berkuasa memberikan hidup yang lebih panjang dan berkuasa pula mengambilnya dalam sekejap. Ia berkuasa untuk memberikan keberhasilan semua usaha kita maupun menundanya. Ia berkuasa memberikan kuasa atas roh jahat kepada orang yang menurut kita tidak layak, berkuasa pula mengambil kuasa itu dalam sekejap. Mari kita merendahkan diri di hadapanNya.


-----------------------

Bacaan Liturgi 23 Mei 2018
Hari Biasa, Pekan Biasa VII
Bacaan Pertama: Yak 4:13-17
Bacaan Injil: Mrk 9:38-40

Recent Post