Latest News

Tuesday, October 31, 2017

Resep Kebahagiaan

Apa resep kebahagiaan? Seorang jurnalis bernama Eric Weiner di dalam bukunya berjudul The Geography of Bliss mengunjungi 10 negara di seluruh dunia untuk mencari tempat yang paling berbahagia di dunia. Pertanyaannya hanya satu: apa yang membuat orang berbahagia? Apakah ketika bebas mengisap mariyuana seperti di Belanda? Atau ketika semuanya tertib seperti di Singapura? Atau karena banyak uang seperti di Qatar? Atau ketika banyak kreativitas di udara seperti di Skandinavia? Setelah berkeliling dan meneliti, ia sampai kepada satu kesimpulan: �sumber kebahagiaan terbesar adalah orang lain.�

Cocokkah kesimpulan ini dengan Sabda Bahagia Tuhan Yesus? Mari kita tilik lebih dalam. Orang miskin dan orang kaya manakah yang lebih membutuhkan orang lain? Tentu orang miskin. Orang lapar dan orang kenyang, manakah yang lebih mengharapkan ada orang lain? Tentu orang lapar�. Orang kenyang cukup membutuhkan tempat tidurnya. Orang berdukacita dan bersukacita, manakah yang lebih membutuhkan orang lain? Tentu orang berdukacita karena ada keinginan untuk dihibur. Orang yang murah hati dan kikir, manakah yang lebih mudah untuk didekati? Tentu orang murah hati. Mereka yang disebut Yesus sebagai pemilik Kerajaan Surga adalah orang-orang yang membutuhkan dan dibutuhkan orang lain. Mereka berbahagia karena di dalam hidupnya selalu ada orang lain, atau paling tidak 1 orang yang mereka tahu akan selalu bersama mereka, yaitu Tuhan Yesus sendiri.

Pada hari ini kita merayakan Hari Raya Semua Orang Kudus dimana Gereja mengingatkan kita semua bahwa kita adalah satu kesatuan di dalam Tubuh Kristus. Hal ini makin membuat kesimpulan di atas menjadi benar, yaitu kita umat beriman di dalam Kristus adalah orang paling berbahagia di dunia karena kita tidak pernah sendirian. Kita selalu dikelilingi oleh satu kumpulan orang kudus baik yang masih berziarah di dunia maupun yang sudah berada di surga. Kita selalu memiliki orang lain di dalam hidup kita. Mari kita menyadari bahwa sumber kebahagiaan kita sudah berada di sini, di tempat ini, pada saat ini, bersama dengan Tuhan dan seluruh orang kudusnya.

-----------------------
Bacaan Liturgi 01 November 2017
HR Semua Orang Kudus
Bacaan Pertama: Why 7:2-4.9-14
Mazmur:Mzm 24:1-2.3-4ab.5-6
Bacaan Kedua: 1Yoh 3:1-3
Bacaan Injil:Mat 5:1-12a

Kita Semua Memiliki Arti Hidup

Kebinasaan. Semua manusia takut binasa. Binasa bukan hanya berarti mati secara fisik, namun juga hidup tanpa arti. Orang yang ingin bunuh diri karena merasa hidupnya tak memiliki arti lagi. Sementara orang takut mati karena kuatir setelah kematiannya ia takkan dikenang lagi. Sekian puluh remaja di Amerika Serikat bunuh diri karena merasa mereka �tak terlihat� oleh teman-temannya. Sekian puluh remaja di Jepang bunuh diri karena merasa mereka �tak mampu� menanggung beban yang diberikan kepadanya.

Tapi orang yang beriman pada Tuhan tidak pernah takut binasa. Lihat kisah pada bacaan pertama, seorang ibu dan 7 orang anaknya yang diancam kematian dalam sengsara. Mereka tidak takut mati, tapi juga tidak takut hidup bila berhasil selamat. Mereka percaya bahwa dalam kematian maupun dalam kehidupan, Allah memelihara mereka. Mereka percaya bahwa Allah yang menciptakan dari tidak ada menjadi ada, tentu tidak akan mengembalikan mereka kepada keadaan �tidak ada� atau �tanpa arti� lagi.

Lihat pula perumpamaan Yesus. Siapakah yang membuat dirinya tanpa arti? Hamba yang mendapatkan 1 mina. Dialah yang membuat dirinya tanpa arti. Tuannya memberikan suatu arti padanya, yaitu mempercayakan 1 mina. Namun ia tak mampu melihat hal ini, dan memilih untuk menyia-nyiakan arti yang diberikan kepadanya. Hukumannya adalah kebinasaannya.

Kita yang percaya pada Allah tahu bahwa kita punya arti di hadapanNya, dan dengan demikian akan berusaha untuk memelihara arti diri kita itu selama hidup kita sampai ajal menjelang. Kasihanilah mereka yang tidak percaya pada Allah karena mereka akan merasa bahwa arti hidup mereka adalah 0.
-------------------------
Bacaan Liturgi 22 November 2017
Rabu Pekan Biasa XXXIII
PW S. Sesilia, Perawan dan Martir
Bacaan Pertama: 2Mak 7:1.20-31
Bacaan Injil: Luk 19:11-28

Thursday, October 26, 2017

Mari Peduli

Seorang anak kecil ditunjukkan sebuah disket (tempat penyimpanan data komputer yang sudah lama tidak terpakai). �Menurut kamu, ini apa?� Tanya ayahnya. Jawab anak itu: �Oh, wow, keren sekali, itu cetakan 3D dari icon Save di komputer....� Anak itu tidak tahu dan mungkin tidak mau tahu bahwa dahulu disket itu adalah bagian penting dari permainan komputer yang kini dengan mudah diperolehnya lewat smartphone yang ringan.


Ketidakpedulian merupakan dosa yang hendak ditegur oleh Tuhan pada hari ini. Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma menyatakan bahwa ia tahu dan mau melakukan apa yang baik, namun anggota-anggota tubuhnya yang lain melakukan apa yang ia tahu jahat. Yesus menegur orang banyak yang tahu melihat tanda-tanda alam, namun tidak mau berdamai dengan lawannya di tengah jalan menuju hakim.

Perjuangan melawan dosa adalah perjuangan untuk peduli. Kita melihat orang jatuh dan kita tahu bahwa kita harus menolongnya. Namun hanya kepedulian yang mampu untuk mendorong kita untuk sungguh-sungguh berjalan ke arah orang itu, mengangkat tubuhnya dan merawat lukanya. Kita tahu teman kita sedang bermusuhan dan kita tahu bahwa bermusuhan itu tidak baik. Namun hanya kepedulian yang mampu memberanikan kita untuk mempertemukan keduanya dan menyelesaikan masalahnya.

Tahun ini kita diajak merefleksikan sila kedua Pancasila yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab. Di dalam tahun ini kita terus menerus diajar peduli kepada orang-orang di sekitar kita. Bagaimanakah sikap kita sudah berubah sejak awal tahun? Apakah kita sudah makin peduli kepada anggota keluarga kita? Teman-teman kita? Orang susah di sekitar kita? Dengan kegiatan Gereja dan komunitas kita? Mari peduli.


----------------------
Renungan Jumat, 27 Oktober 2017
Rm 7:18 � 25a
Luk 12:54 � 59

Wednesday, October 25, 2017

Jadi Hamba yang Melakukan Tugas

Seorang pegawai keuangan baru saja dicurigai melakukan pencurian uang perusahaan, dan tugas-tugasnya diberikan kepada saya. Mendapatkan tugas mendadak ini saya merasakan betapa banyak tantangan yang diberikan�. Bukan dalam hal pekerjaan itu sendiri, namun dalam hal menolak keinginan untuk �nilep�. Apalagi pekerjaan itu ditumpahkan ketika saya sendiri sedang merasakan kebutuhan akan uang yang cukup besar. Awal-awalnya saya terpikir untuk �nilep� uang parkir. Untunglah peristiwa demi peristiwa yang kemudian terjadi membuka saya kepada kesadaran bahwa yang kecil lama-lama akan menjadi besar.

Pegawai yang dicurigai mencuri di atas ternyata awalnya �hanya� nilep uang-uang kecil seperti tips, parkir, dan sebagainya. Setelah beberapa kali melakukannya dan tidak ketahuan, maka ia makin berani untuk melakukannya dengan jumlah yang lebih besar. Setelah bertahun-tahun melakukannya, maka ia pun telah mengambil uang jutaan rupiah dan akhirnya ketahuan.

Demikian pula apa yang disampaikan oleh Yesus. Hamba yang diangkat menjadi pengawas memiliki tantangan yang lebih besar daripada hamba pekerja. Pada saat itu konteksnya adalah kekuasaan� hamba pengawas memiliki kekuasaan lebih dibandingkan hamba pekerja. Tantangannya adalah untuk tidak menggunakan kekuasaan dengan semena-mena, dalam arti memukuli hamba-hamba pekerja. Pada saat ini konteks yang aktual adalah kekuasaan maupun kekayaan. Pada contoh di atas, konteks yang berlaku adalah konteks keuangan, yaitu menggunakan kepercayaan dan kuasa yang telah diberikan kepadanya untuk melakukan penyelewengan keuangan.

Demikianlah apa yang dikatakan oleh Yesus selalu up-to-date, yaitu bahwa �Berbahagialah hamba, yang didapati tuannya sedang melakukan tugasnya, ketika tuan itu datang.� Mari kita berdoa dan bersiaga agar ketika Yesus datang, kita siap dengan hati yang tulus dan jiwa yang murni.

---------------
Bacaan Liturgi 25 Oktober 2017
Rabu Pekan Biasa XXIX
Bacaan Pertama: Rom 6:12-18
Bacaan Injil: Luk 12:39-48

Tuesday, October 24, 2017

Mendirikan Tembok Penjaga terhadap Dosa

Bali adalah pulau yang masih sarat dengan kepercayaan mistis. Walaupun penduduk Bali mayoritas beragama Hindu, namun ada banyak yang dapat dipelajari dari mereka. Terutama tentang bagaimana mereka meyakini para dewa dan bagaimana mereka membuat struktur kehidupan yang sangat dekat dengan para dewa yang mereka sembah. Tiap hari tak terkecuali, mereka memberi sesajen berupa bunga kepada patung-patung dewa dengan pakaian yang pantas (harus menggunakan kain Bali). Tiap tahunnya ada begitu banyak hari raya yang dimaksudkan untuk menguduskan bumi dan segala isinya.



Dan yang paling menakjubkan adalah bagaimana mereka mendekatkan hubungan itu di dalam rumah mereka. Arsitektur Bali berfokus pada 5 aspek, yaitu:
  • Sistem ventilasi yang baik. Pada rumah Bali, jendela besar selalu digunakan untuk sirkulasi udara dan sering dibuat pula ruang di antara atap dan dinding bangunan untuk menyatukan manusia dan alam.
  • Fondasi yang kokoh. Berdasarkan pada filosofi Tri Loka, tubuh manusia mirip dengan rumah, maka dibuatlah fondasi dengan dasar yang kuat, seperti kaki bagi manusia, fondasi yang kuat pada sebuah rumah akan memberikan kekuatan.
  • Sebuah halaman besar. Berdasarkan konsep yang selaras dengan alam, rumah khas Bali harus memiliki halaman yang luas untuk berkomunikasi dengan alam sekitarnya.
  • Tembok penjaga. Tembok tinggi yang melindungi rumah dari pandangan orang luar, memberikan privasi dan perlindungan dari orang lain, serta untuk menangkal ilmu hitam dan roh-roh jahat agar tidak masuk ke dalam rumah.
  • Pura untuk sembahyang.Di setiap rumah ada sebuah pura, untuk bersembahyang kepada para dewa.

Bagaimana kita umat Kristiani mencontoh kesatuan umat Hindu dan dewanya? Bagaimana kita dapat menyatukan diri kita, keluarga kita dan Tuhan yang kita sembah di manapun kita berada, dan terutama di dalam rumah kita? Bila kita melihat Tuhan di manapun kita berada, maka kita takkan menjadi hamba-hamba yang jahat sehingga tuannya membunuhnya (Luk 12:39-48). Sebaliknya kita akan terus berjaga-jaga seperti tembok penjaga di rumah Bali, sehingga tidak menjadi hamba dosa lagi (Rom 6:12-18).

Thursday, October 19, 2017

Kasih yang Menimbulkan Ketaatan

Keselamatan diperoleh Abraham karena ia taat kepada Allah. Taat kepada Allah karena iman takut akan Allah. Takut akan Allah membuat tindakan dan perbuatannya untuk tidak menyimpang dari kehendak Allah.

Allah sebagai Allah yang menghukum, amat kuat dalam Perjanjian Lama. Penyimpangan akan kehendak Allah membawa konsekwensi pada hukuman. Mata Allah memandang segala tindakan Abraham, artinya: Allah masa Abraham melihat, dan akan segera bertindak atas suatu kesalahan. Sehingga sosok Allah menjadi sosok yang menakutkan. Seperti murid yangdiawasi guru, begitu salah berbuat segera menerima hukuman.

Berbeda dengan Lukas 12: 1-7  Yesus memberi penggambaran tentang Allah yang sedikit berbeda, walaupun kedua-duanya menuntut hal yang sama, yaitu ketaatan. Walau penggambaran tentang Allah sedikit berbeda dengan masa Abraham. Yesus memberikan gambaran tentang  Allah sebagai pribadi yang penuh kasih, penyabar, pengampun, penyayang dan sebagainya. Tetapi Allah gambaran Yesus ini punya tuntutan yang sama tadi, yaitu kita diminta untuk taat, dan itu menjadi pengajaran Yesus ygyang mengingatkan murid-muridNya, dan juga kita, supaya jangan terlena oleh kebaikanNya dan melupakan harapan Allah terhadap manusia yaitu;
- kita tetap dituntut sebagai pelaku firman yang tekun (firman tanpa perbuatan  adalah mati)
- Hidup kita menjadi cerminan dan gambaran Allah yang pengasih dan  penyayang dalam segala aspek kehidupan.
- kita dituntut untuk mampu menyangkal diri dan  pikul salib kehidupan.

Semua harapan itu memang sulit. Namun Yesus memberikan harapan baru agar kita tetap semangat bertekun dalam iman yaitu dengan mengatakan kalau burung saja yang dijual murah di dunia tetap dipelihara semuanya, apalagi manusia yang bahkan rambut kita saja dihitungnya. Kita berharga di mata Allah sehingga perhatian Allah hendaknya menimbulkan  kasih akan Tuhan juga, bukan ketakutan seperti masa Abraham.

Kasih akan Tuhan menimbulkan ketaatan iman.

(c) Katrin
----------------
Jumat 20 Okt 2017.
Rm 4: 1-8
Luk 12: 1-7

Wednesday, October 18, 2017

Pergilah ke tengah-tengah Serigala

�Pergilah!
Camkanlah, Aku mengutus kamu seperti anak domba ke tengah-tengah serigala.�

Mari kita hari ini merenungkan perintah ini dan peringatan yang menyertainya. Tuhan Yesus mengutus murid-muridnya, termasuk kita, untuk pergi ke tengah-tengah serigala. Berapa banyak dari kita yang tidak mau mengutus orang yang dikasihi untuk pergi ke tengah-tengah bahaya? Orangtua tidak mau membiarkan anaknya pergi ke daerah misi karena kuatir tidak akan kembali, suami atau istri tidak mau membiarkan pasangannya untuk berteman dengan lain jenis karena kuatir akan jatuh ke dalam godaan. Makin mengkuatirkan lagi adalah orangtua yang terlalu kuatir anaknya makan makanan yang tidak steril, bermain di lumpur karena takut sakit, dan kuatir anaknya jadi tidak pe-de (percaya diri) kalau nilainya tidak bagus. Dampaknya adalah hubungan yang rentan, saling tidak percaya, rapuh yang terjalin di antara kedua pihak.

Psikologi jaman sekarang telah mulai menganjurkan peralihan kepada pendekatan baru dalam pengasuhan anak (parenting). Menurut teori psikologi yang sekarang, memberikan tantangan kepada anak-anak adalah penting. Anak-anak Jepang adalah anak yang tangguh karena mereka ditantang untuk membersihkan sekolahnya sendiri, menyiapkan makanannya sendiri, mengerjakan pekerjaannya sendiri. Sementara anak-anak Indonesia adalah anak yang terbiasa untuk berteriak: �mama, papa, mbak� untuk mencuci pakaiannya dan mengerjakan PR-nya.

Tuhan Yesus memberikan kita tantangan. Ia tetap mengutus kita walaupun Ia tahu bahwa di hadapan para serigala, anak domba bisa menjadi makanan empuk. Dari situ Ia bisa melihat anak-anak domba mana yang tetap setia kepadaNya, dan yang mana yang akan menjadi anak serigala. Dan seperti orangtua, Ia akan tetap melindungi ketika tantangan itu terlalu berat bagi kita. Toh apa yang dijanjikanNya bukanlah kehidupan di dunia ini, melainkan kehidupan kekal bersamaNya di surga. Mari kita pergi ke tengah-tengah serigala, dan mewartakan bahwa ada kehidupan penuh sukacita ketika kita menjadi anak domba.

---------------
Bacaan Liturgi 18 Oktober 2017
Pesta S. Lukas, Pengarang Injil
Bacaan Pertama: 2Tim 4:10-17a
Bacaan Injil: Luk 10:1-9

Tuesday, October 17, 2017

Menjadi Domba di Antara Serigala

Lama tinggal di Jakarta, sulit rasanya untuk tidak merasa curiga kepada sesama. Kunci mobil dan motor dengan hati-hati tidak dibiarkan menggantung. Dompet sering disentuh karena takut kecopetan. Ketika sedang bertransaksi, kita tidak akan membiarkan pihak lawan pergi sendirian membawa uang kita walaupun dengan alasan akan menukar uang untuk kembalian.

Tapi waktu kami ke Bali, tepatnya ke Pelabuhan Sanur untuk berlayar ke Nusa Penida, kami menyaksikan suatu kejadian yang mengagumkan. Kasir perahu kami tidak mengenal pemandu wisata kami di Nusa Penida yang ternyata tidak mem-booking kursi untuk kami. Tapi dengan senang hati ia membiarkan kami naik perahu hanya dengan berbekal nomor HP yang kami berikan. Bahkan ia menolak uang yang kami serahkan untuk membeli tiket, dengan alasan: �kasihan pemandu wisatanya kalau dia sudah dititipkan uang.� Sekali lagi kami terkaget-kaget karena di Nusa Penida, motor-motor sewaan ditinggalkan di teras rumah dengan kunci masih menggantung di badannya. Pada saat itu saya merasa seperti serigala yang dapat memikirkan berbagai hal untuk menipu para domba ini.

Berapa dari kita yang mau membantu orang yang kesusahan? Tidakkah kita takut orang yang kita bantu di tengah jalan akan berbalik merampok kita? Berapa dari kita yang mau membiarkan tunawisma sakit menginap di kamar kita? Tidakkah kita takut tengah malam ia akan merampok kita dan pergi begitu saja? Bisakah kita seperti Rasul Paulus yang ditinggalkan saat pembelaan dan dijahati oleh Aleksander, namun ia tetap bertahan, tidak mendendam, dan bergantung pada Tuhan (2Tim 4:10-17a).

Demikianlah kita diutus oleh Tuhan Yesus, sebagai domba di antara para serigala. Kita membantu dengan tulus, menjadi sasaran empuk para penipu dan perampok, namun bertahan dalam ketulusan karena iman kepada Tuhan Yesus sambil terus berseru: 'Kerajaan Allah sudah dekat padamu.' (Luk 10:1-9)

Tuesday, October 10, 2017

Dipelihara Allah Selamanya

Sempat beberapa waktu yang lalu ada berita tentang seorang nenek yang tinggal di pedalaman, sudah berusia lebih dari 70 tahun. Nenek itu masih masuk keluar hutan, turun naik pohon, demi mendapatkan Rp1000 per hari. Tersirat di dalam hati: di manakah anak-anaknya? Teganya mereka membiarkan ibunya bekerja keras untuk mempertahankan hidupnya. Ternyata nenek itu memiliki 1 orang anak lelaki dan 1 orang anak perempuan. Si anak lelaki terbujur di ranjang tak bisa apa-apa karena kelumpuhan yang dideritanya sejak lahir. Si anak perempuan mengalami sakit jiwa sehingga kerjanya hanya keliling-keliling desa. Selama lebih 40 tahun si nenek telah mengurus anak-anaknya itu. Ketika ditanya, apa yang akan terjadi apabila si nenek tidak sanggup lagi mencari nafkah, nenek itu meneteskan air mata dan tak mampu menjawab.

Begitu besar kasih orang tua pada anak-anaknya, terutama mereka yang lemah dan tak mampu menjaga dirinya sendiri. Orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus akan berusaha bertahan hidup lebih lama demi anaknya, karena mereka tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi apabila mereka sudah tiada.

Demikian juga Allah kita yang begitu besar kasihNya dan telah memelihara kita sepanjang hidup kita. Allah begitu menyayangi bangsa Niniwe yang tidak tahu membedakan tangan kanan dan tangan kiri karena Ia sama seperti orang tua kita. Sementara si orang luar, yaitu Yunus (Yun 4:1-11), tidak peduli apa yang akan terjadi kepada bangsa itu. Yunus hanya peduli kepada apa yang memberi keuntungan padanya, yaitu si pohon jarak yang telah memberinya keteduhan. Sementara Allah memedulikan kita seutuhnya, bahkan lebih lagi, ketika kita tidak tahu apa yang kita lakukan.

Oleh karena itu, marilah kita berdoa kepada Allah Bapa kita, agar Ia memberikan rejeki pada kita dan menghindarkan kita dari pencobaan. (Luk 11:1-4)

Tuesday, October 3, 2017

Bertahan untuk Tidak Menoleh ke Belakang

St. Fransiskus Asisi adalah seorang suci yang terkenal dengan kedisiplinannya untuk meninggalkan dunia materi untuk menemukan Tuhan dalam kehidupannya. Ia bisa berhari-hari tidak makan, selalu misa, merenungi Tuhan. Ia memberikan segala sesuatu yang dimiliki kepada orang miskin, memilih yang terburuk, dan berkata-kata dengan lembut. Ia mengakui segala dosanya di hadapan imam dan di hadapan saudara-saudaranya untuk melatih kerendah-hatian. Ia memandang hubungannya dengan Yesus adalah yang paling berharga, dan yang lainnya menjadi tidak berharga.

Apakah artinya kita tidak perlu menguburkan orangtua kita, tidak perlu melayani keluarga kita, tidak perlu belajar dan bekerja dengan rajin, demi panggilan melayani di gereja? Jelas TIDAK. St. Fransiskus di dalam keinginannya untuk berpuasa, pernah memperhatikan bahwa salah satu saudaranya tidak mampu mengikutinya untuk berpuasa dan pingsan. Panggilan untuk menunjukkan kasih Yesus menjadi lebih penting bagi St. Fransiskus daripada ketaatannya berpuasa. Maka ia pun makan bersama dengan saudaranya itu, agar ia tidak malu makan sendiri.

Hal yang menarik di belakang kita, seperti yang dikatakan Yesus ("Setiap orang yang siap untuk membajak,  tetapi menoleh ke belakang, tidak layak untuk Kerajaan Allah." - Luk 9:57-62), bisa muncul dalam berbagai hal: rumah, keluarga, jabatan, materi, cita-cita, hobi dan sebagainya, bahkan komitmen untuk berpuasa. Nehemia (Neh 2:1-8) memiliki zona nyaman karena jabatannya yang dekat dengan raja. Namun Nehemia dan St. Fransiskus mampu untuk mendobrak zona nyaman mereka demi kepatuhan mereka pada Allah. Apa yang menjadi zona nyaman kita? Apa yang paling sulit kita tinggalkan dan apa yang membuat kita paling sedih bila kita kehilangan? Mampukah kita, ketika dipanggil untuk mengikuti Kristus, meninggalkan semuanya itu?

Recent Post